Mereka sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak tahi ayam
[reportase kasus Syiah, Sampang]
Januari silam, saya mendatangi Karang Gayam dan Bluuran,
Sampang, Jawa Timur untuk mencari tahu penyebab konflik
Syiah-Sunni menyusul pembakaran rumah-rumah orang-orang Syiah dan
pengusiran mereka. Inilah hasil reportase dan wawancara saya dengan
sejumlah tokoh, kiai, pejabat Pemda Sampang, yang mudah-mudahan bisa
membantu menjelaskan mengapa konflik Syiah-Sunni di Sampang tak kunjung
berhenti, hingga kemarin harus ada yang tewas sia-sia.
Mendatangi lokasi rumah-rumah orang-orang Syiah di Karang Gayam dan
Bluuran, Sampang, Jawa Timur yang dibakar massa pada Kamis 29 Desember
2011, ternyata bukan pekerjaan mudah. Bukan saja letak lokasi kejadian
yang cukup jauh dari pusat kota Sampang, melainkan yang terutama, sudah
berkembang kecurigaan di masyarakat setempat kepada setiap pendatang.
Rumah-rumah itu terletak di dua desa dan kecamatan berbeda. Rumah
Tajul Muluk di Dusun Nangkernang, Karang Gayam, Kecamatan Omben; dan
rumah Iklil Al Milal di Bluuran, Kecamatan Karang Penang. Iklil dan
Tajul adalah kakak-beradik dan dikenal sebagai ustad Syiah. Sejak kasus
pembakaran rumah-rumah dan pengusiran orang-orang Syiah dari Omben,
Januari silam; Tajul lalu dipersalahkan. Dia ditahan, diadili lalu
divonis penjara dua tahun oleh majelis hakim PN Sampang, Juli silam
karena dianggap mengajarkan aliran sesat.
Dari jalan raya Trunojoyo [arah Sampang-Ketapang], dua desa itu
terletak di sebelah timur. Jaraknya sekitar 20-an kilometer ke arah
utara kota Sampang. Kendaraan roda empat harus berhenti di tepi jalan
raya Sampang-Ketapang itu karena jalan kecil menuju dua desa bisa
dilalui hanya oleh kendaraan roda dua atau berjalan kaki. Ada sebatang
sungai yang melintas di jalan kecil itu, dan rumah Tajul Muluk dan Iklil
berada di sisi timur sungai.
Polisi dan beberapa tentara dari Koramil/Kodim Sampang terlihat
berjaga, mulai dari jalan kecil itu hingga lokasi rumah Tajul dan Iklil.
Beberapa penduduk yang ditemui di sekitar lokasi memandang curiga
kepada setiap pendatang. Apalagi pendatang dengan penampilan yang
berbeda dari warga sekitar. Mereka kuatir yang masuk ke desa mereka
adalah penyusup; intel yang sedang mencari tahu pelaku pembakaran; atau
orang-orang Syiah yang sedang mengumpulkan informasi. “Sampean Syiah ya
Mas? Kok pintar ngomong? Sampean bisa lihat sendiri di sini aman. Saya
heran kenapa orang-orang Jakarta meributkan kasus ini,” kata Hali.
Dia anak muda, berbadan gempal. Munif, bapaknya adalah tokoh
masyarakat yang disegani di Karang Gayam dan masih kerabat jauh [paman]
dari Tajul dan Iklil. Dari Hali pula diperoleh informasi, warga di
Karang Gayam banyak yang tidak suka dengan Syiah yang diajarkan Tajul.
“Mereka mengagung-agungkan Sayidinah Ali tapi memaki-maki tiga sahabat
Nabi yang lain. Siti Aisyah disebut pelacur. Itu disiarkan lewat
pengeras suara,” kata dia.
Hali akan tetapi mengaku, tidak mendengar langsung soal itu melainkan
hanya dari yang dia dengar dari orang lain. “Kakak ipar saya tetangga
Iklil, dia tahu persis dan bisa bercerita,” katanya.
Kakak ipar Hali bernama Dailami. Wajahnya terlihat tua dari usia yang
diakuinya, 35 tahun. Dia antara lain bercerita, ajaran Syiah yang
dibawa Tajul dan Iklil membolehkan berhubungan badan meskipun istri
sedang datang bulan, dan melakukan salat hanya tiga waktu. “Tapi saya
juga hanya mendengar dari orang,” katanya.
Dailami menyarankan untuk menghubungi Ahmadussowi alias Sowi di
Bluuran. Dia anak muda, usianya baru 28 tahun lewat 3 bulan. Rumahnya di
Bluuran berada persis di sebelah timur-utara rumah Iklil. Berjarak
kurang-lebih 200-an meter. Orang tua Sowi [bapak] dan orang tua Iklil
dan Tajul masih sepupu.
Sama seperti Hali dan Dailami, Sowi pun bercerita tentang ajaran
Syiah yang dianggapnya menyimpang dari ajaran Islam. Kata dia, Syiah
mengharamkan tarawih dan tadarus Alquran. Ketika ditanya apakah dia
mendengar langsung ajaran seperti itu disampaikan oleh Tajul atau Iklil,
dia menjawab mendengar langsung dari Muhammad Nur. “Dia pengikut Syiah,
tapi sekarang jadi anak buah Rois,” kata Sowi.
Nur yang dimaksud Sowi, bertemu dengan saya di kantor
Radar Madura,
Jalan Diponegoro, Sampang. Dia datang menemani Roisul Hukamah alias
Rois, yang datang menemui saya untuk wawancara. Rois adalah adik Iklil
dan Tajul, dan disebut-sebut paling menentang ajaran Syiah yang
diajarkan kakak-kakaknya. Dia mengenalkan Nur sebagai eks ustad Syiah
yang sudah kembali ke Sunni.
Dari mulut Nur inilah, meluncur banyak cerita menyangkut tata cara
ritual ajaran Syiah. Orangnya cenderung demonstratif dan pintar
berbicara. Dia mengaku ikut Syiah sejak 2006 dan baru keluar empat tahun
silam [2008] karena katanya, ajaran Syiah tidak sesuai dengan ajaran
Islam. “Saya saksi hidup,” kata Nur.
Iklil yang dikonfirmasi soal pengakuan Nur itu, hanya tertawa. Dia
membenarkan, Nur sebelumnya adalah pengikut Syiah. “Saya bilang ke dia,
kalau mau ikut Syiah jangan karena Abah,” kata Iklil.
Abah yang dimaksud Iklil adalah KH Makmun, bapaknya. Dia kiai besar
yang pernah hidup dan berpengaruh di Omben dan Karang Penang. Makmun
punya 13 anak, tapi yang hidup hanya delapan, yaitu Iklil, Tajul, Rois,
Ummu Kulsum, Hani, Fatimah, Achmad, dan Bujur. Delapan bersaudara itu
kini pecah karena soal paham Sunni-Syiah. Tajul, Iklil dan Hani satu
kelompok [Syiah], Rois dan Ummu Kulsum, kelompok lainnya [Sunni].
Achmad, Bujur dan Fatimah tidak jelas ikut yang mana. Dari pengakuan
Rois, Achmad kini stres karena perseteruan keluarga itu.
Iklil bercerita, Nur keluar dari kelompok Syiah bukan karena soal
benar-salahnya ajaran Syiah seperti yang selalu dia ceritakan ke
mana-mana melainkan karena faktor ekonomi. Seingat Iklil, suatu hari Nur
pernah mengutarakan maksud untuk memondokkan anaknya di pesantren tapi
tidak punya biaya. Dia mengutarakan hal itu kepada Iklil. Lalu oleh
Iklil, Nur diminta bersabar menunggu giliran karena iuran yang
dikumpulkan dari jemaah terbatas. Sayangnya Nur tidak sabar dan malah
memutuskan keluar dari kelompok Syiah. “Saya tahu siapa Nur,” kata
Iklil.
Sunni-Syiah di Madura
Seorang kiai pengasuh pondok pesantren di Kajuk, Sampang menjelaskan, orang Madura yang NU adalah pengikut
ahlus sunnah wal jamaah atau
Sunni. “Madura itu ya NU. Orang Madura itu toleran. Kalau ada keyakinan
di luar itu, silakan. Yang penting tidak menimbulkan keresahan di
masyarakat,” katanya.
Dia lalu bercerita tentang pengikut Syiah di Tanjung Bumi, Bangkalan
[sebelah barat Sampang] yang dianut oleh keluarga kiai terpandang.
Mereka tetap bisa menjalankan ibadah sesuai keyakinan mereka dan tidak
ada masalah dengan warga sekitar. Awalnya, kiai itu menyekolahkan
anak-anaknya ke Timur Tengah. Ketika anak-anaknya itu pulang ke Tanjung
Bumi, mereka mengajarkan Syiah lewat pesantren milik orang tuanya. Para
santri dan warga sekitar yang tahu, anak-anak kiai itu mengajarkan Syiah
yang dianggap berbeda dengan ajaran Sunni, menarik anak-anak mereka dan
meninggalkan pesantren itu.
“Tidak ada kejadian apa-apa tapi para santri dan masyarakat yang
tidak setuju dengan ajaran Syiah, satu per satu keluar dari pesantren,
dan menjauh. Ini bukti, masyarakat Madura tidak ada persoalan dengan
perbedaan. Kalau memang mau mempersoalkan Syiah, mestinya Syiah di
Tanjung Bumi, Bangkalan itu sudah lebih dulu ‘meletus’ karena lebih dulu
muncul sebelum Syiah di Omben,” kata dia.
Pengikut Syiah di Tanjung Bumi yang dimaksud adalah Keluarga Haidar
Syarif dan Habib Ibrahim. Belum jelas benar, kapan mereka mulai
mengajarkan Syiah di Tanjung Bumi. Sepekan setelah rumah-rumah
orang-orang Syiah di Omben dibakar dan para pengikutnya diusir, pengikut
Syiah di Bangkalan diundang Bupati Bangkalan, Fuad Amin Imron ke
pendopo kabupaten. Mereka diajak bermusyawarah dengan para kiai di
Bangkalan agar kejadian di Karang Gayam dan Bluuran tidak merembet ke
Tanjung Bumi.
Dari cerita Iklil, Syiah mulai masuk ke Karang Gayam sekitar 1979
menyusul Revolusi Islam Iran. Orang tuanya [KH Makmun], waktu itu
mendapat kiriman bacaan dan buletin tentang Syiah, juga poster-poster
bergambar Khomeini. Sejak itu, orang tuanya menjadi pengikut Syiah.
Keterangan Iklil dibenarkan Fanan Hasyib, Wakil Bupati Sampang yang juga
seorang kiai.
Fanan menerangkan, Makmun [ayah Iklil, Tajul dan Rois] adalah
penganut Syiah tapi keyakinan Makmun tidak diajarkan kepada orang lain.
Fanan mengaku sudah sering mendengar sepak terjang Makmun termasuk dalam
hal ibadah. Salah satunya tidak pernah salat Jumat. Alasan Makmun kata
Fanan, seseorang yang akan menunaikan salat Jumat harus bersih dan wangi
sehingga tidak ada alasan bagi orang yang kotor dan bau untuk
menunaikan salat Jumat. “Celakanya, Kiai Makmun sejak Rabu sudah tidak
mandi sehingga punya alasan untuk tidak salat Jumat,” katanya.
Dia menerangkan, ajaran Syiah yang dianut Makmun lantas ditularkan kepada anak-anaknya.
Lalu Iklil [yang tertua], Tajul dan Rois disekolahkan ke pesantren
Yayasan Pesantren Islam atau YAPI di Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, yang
oleh warga Omben dikenal sebagai pesantren Syiah. Lulus dari YAPI,
kakak-beradik itu disekolahkan ke Timur Tengah. “Rois dan Tajul itu
masih bersaudara, begitu juga ulama-ulama di Karang Gayam, semua masih
berkerabat,” kata dia.
Dari catatan Pemda Sampang, Tajul bersekolah ke Arab Saudi dan
menikah dengan Ummu Kulsum asal Malang Jawa Timur. Ketika kembali ke
Karang Gayam pada 1999, Tajul dan keluarganya mulai berdakwa tentang
Syiah dan mendirikan pesantren Misbahul Huda. Mulanya Rois juga ikut dan
bergabung dengan Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia atau IJABI yang
diketuai oleh Jalaluddin Rakhmat. Ada kabar, Rois bahkan sempat menjadi
bendahara IJABI Sampang tapi Rois membantah hal ini. “Saya hanya menjadi
penasihat,” kata Rois.
Iklil bercerita, justru Rois yang paling aktif dan mewakili mereka ke
acara-acara yang diselenggarakan oleh IJABI termasuk ketika organisasi
mengadakan kongres di Makassar. Rois mengaku keluar dari Syiah, karena
menilai ajaran Syiah melenceng dari ajaran Islam. Dia menyebutkan
sejumlah alasan. Antara lain soal pernyataan Tajul tentang Alquran yang
dianggap sudah tidak otentik. Namun, “Saya tidak pernah mendengar
langsung, juga tidak ada saksi,” kata Rois.
Dan menurut Tajul, Rois keluar dari kelompok Syiah karena merasa
tidak mendapat posisi dan kesempatan. “Dia itu ditaruh di depan tidak
mau, ditaruh di belakang menyeruduk,” kata Tajul.
Di Karang Gayam dan Bluuran, para pengikut Syiah disebut kompolan
[kumpulan]. Di masyarakat Madura, sebutan ini diberikan kepada
sekelompok orang yang rajin mengikuti acara pengajian. Suatu kegiatan
yang sebetulnya jarang dilakukan oleh para santri di pesantren NU.
Dengan sebutan itulah, para pengikut Syiah hidup di tengah-tengah
masyarakat Omben dan Karang Penang yang mengagungkan kiai dan
dikelilingi ratusan pesantren.
Di Omben dan di kecamatan sekitarnya, warga setempat memang hidup
dengan petuah kiai dan syariat Islam yang ketat. Sebagian besar dari
mereka, hanya bisa berbahasa Madura dan Arab. Ada sebuah madrasah yang
murid-muridnya bahkan tidak bisa menyanyikan lagu Indonesia Raya dan
tidak tahu cara melaksanakan upacara bendera. “Sampang itu NU, dan Omben
adalah pusarnya NU,” kata Hamid, tokoh pemuda dan eks petugas Pencatat
Pemilih di Kecamatan Omben.
Cincin akik dan dua hukum
Di Omben dan sekitarnya, masjid dan pesantren
memang seperti berbaris di sepanjang jalan Sampang-Ketapang. Itu belum
termasuk yang ada di pelosok, di balik-balik perbukitan yang jauh dari
jalan raya Sampang-Ketapang. Bila waktu salat tiba, sebelum azan akan
terdengar suara orang mengaji yang diputar dari
recorderdan
disiarkan lewat pengeras suara, seolah sahut-menyahut antara masjid yang
satu dengan masjid yang lain. Di masjid-masjid itu, orang-orang yang
salat akan tetapi bisa dihitung dengan jari, hanya satu-dua orang.
Sunardi Hamid, Ketua Pusat Kajian HAM dan Lingkungan di Pamekasan
menjelaskan, salah satu ciri orang Madura yang NU adalah suka mengenakan
cincin akik, membaca
qunnut bila subuh, suka tahlilan dan
membawa jimat. “Kalau sudah seperti itu, sampean NU sejati, dan kalau
ada yang mengatakan jimat itu syirik, itu bukan NU dan pasti dicap
Muhammadiyah,” katanya.
Laki-laki yang juga menjadi ketua Himpunan Petani Garam Indonesia dan
ketua Lembaga Pertanian NU Pamekasan itu bercerita, di Madura, saat ini
banyak politik kepentingan yang dijalankan para kiai. Karena
kepentingan itu, seseorang atau kelompok bisa dengan mudah dicap sesat
atau alim.
Misalnya jika kepentingan seseorang atau kelompok tertentu
berbenturan dengan kepentingan kiai, maka seseorang atau kelompok itu
bisa dicap sesat, atau kiai itu akan mengeluarkan fatwa haram.
Sebaliknya bila menguntungkan dan mendukung kepentingan kiai, seseorang
atau kelompok bisa dicap alim, atau para kiai itu akan mengeluarkan
fatwa halal.
“Di dunia ini, siapa yang kuat itu yang menang. Meski pun saya
melihat kuning benar, tapi karena orang banyak bilang merah yang benar,
saya bisa kalah,” katanya.
Kenyataan itu kata Sunardi berbeda dengan zaman ketika dia masih
muda. Dulu para kiai masih menggunakan empat hukum: halal, haram,
makruh, mubah, dan riba. Sekarang yang digunakan hanya dua hukum: halal
dan haram, dan tidak ada yang membantah. Paham orang lain lalu dengan
mudah dicap kafir, dan paham yang mereka anut dianggap paling benar.
Maka tidak usah heran, jika ada warga NU yang suka tahlilan, meski
pun tidak pernah salat bisa dianggap sebagai orang alim. Sebaliknya
kalau ada orang Muhammadiyah atau yang lain, yang rajin salat dan
menjalankan semua ritual ibadah Islam tapi tidak suka tahlilan dan tidak
suka jimat, mereka bisa dicap sesat atau kafir. “Semua karena
kepentingan dan kebutuhan hidup,” kata Sunardi.
Celakanya, politik kepentingan dan hubungan kiai-umat seperti itu
kemudian dipraktikkan oleh umat dengan serta-merta. Contohnya bila ada
orang yang meninggal dunia.
Kebiasaan orang Madura bila ada tetangga yang ditimpa musibah
kematian, akan membawa segantang beras atau sebungkus gula sebagai tanda
ikut berduka. Lalu ketika pulang, pihak keluarga yang berduka akan
menitipkan bingkisan berupa nasi dan sebagainya. Kalau ada pihak
keluarga yang berduka lupa, atau tidak memberikan bingkisan kepada
orang-orang yang ikut melawat, maka dengan mudah orang-orang akan
memberi cap keluarga yang berduka itu sebagai pengikut Muhammadiyah,
sesat atau kafir. “Saya pernah mencoba menjelaskan bahwa jangan mudah
menuduh orang, tapi kiai dan ulama tidak mendukung, saya mau apa?” kata
Sunardi.
Pak Ong, sopir yang mengantar saya berkeliling Sampang membenarkan
cerita Sunardi. Dia mengaku, di hari ketiga pamannya meninggal, keluarga
besarnya sudah menghabiskan tiga ekor sapi untuk selamatan. “Saya tidak
tahu, bagaimana nanti kalau selamatan tujuh hari,” katanya.
Pak Ong bukan asli Sampang. Dia berasal dari Sumenep. Dia menetap di
Kedungdung, Sampang [tetangga kecamatan Omben] karena istrinya berasal
dari Kedungdung.
Dari Pak Ong pula keluar cerita tentang bagaimana perilaku kiai, pada
saat bulan Maulid. Di Sampang, kata dia, acara memperingati hari ulang
tahun Nabi Muhammad saw. diperingati bukan hanya di masjid atau musala
melainkan di setiap rumah penduduk. Dalam satu hari, bahkan bisa ada 11
rumah yang mengadakan maulid meski waktunya tidak bersamaan.
Setiap istri dan setiap ibu, lalu sibuk memasak untuk menjamu
undangan dan kiai, tapi makanan yang sudah dimasak oleh mereka pada
akhirnya menjadi sia-sia karena tidak ada yang makan. “Bagaimana mau
dimakan, dalam satu hari, setiap orang harus menghadiri acara maulid di
banyak tempat,” katanya.
Musim Maulid itu biasanya juga menjadi musim panen bagi para kiai.
Setiap rumah seolah berlomba-lomba mengundang para kiai, yang tentu saja
harus diberi diberi uang saku. Dari uang saku yang diberikan oleh umat
itu, para kiai minimal bisa membeli sepeda motor. Namun yang menyedihkan
kata Pak Ong, umat yang tidak punya cukup uang untuk merayakan Maulid
akan meminjam uang ke tetangga [atau bahkan ke kiai], tentu berikut
bunganya meskipun dikemas dengan cara lain.
Tak usah heran jika kemudian, banyak warga yang kemudian terjebak
utang hingga musim Maulid tahun berikutnya. “Itulah keadaannya di
Sampang. Menyedihkan. Makanya ada orang yang sudah mulai berani bilang,
lebih enak ikut Muhammadiyah atau Syiah, tidak repot-repot,” kata Pak
Ong.
Muqtadir, aktivis muda NU Sampang punya cerita lain soal hubungan
kiai dan umat. Dia adalah murid KH Izzad Raki, salah satu kiai di
Sampang yang dianggap netral melihat kasus Syiah di Omben dan Karang
Gayam. Kata dia, di Sampang, banyak kiai yang tidak mau datang bila
diundang oleh orang-orang miskin, termasuk pada saat acara kematian.
Sebaliknya bila yang mengundang orang kaya, mereka akan datang dan
memimpin doa.
Persoalan utamanya adalah uang saku atau bingkisan yang akan diterima
oleh para kiai: orang kaya dianggap pasti memberi uang saku lebih
banyak, sementara orang miskin akan memberi bingkisan sekadarnya. Tentu
tdak semua kiai berperilaku seperti itu, tapi Muqtadir memastikan, hal
semacam itu sudah menjadi gejala umum di Sampang dan daerah lain di
Madura.
“Kalau ada undangan bersamaan, para kiai akan mengutamakan undangan
dari si kaya ketimbang si miskin. Padahal hal itu dilarang oleh agama,
karena yang harus diutamakan adalah undangan yang lebih dulu datang,”
kata Muqtadir.
Sunardi Hamid mengungkapkan, besar-kecilnya uang saku untuk para kiai
itu juga ditentukan oleh kendaraan yang digunakan para kiai. Uang saku
untuk kiai yang datang hanya dengan menggunakan sepeda motor misalnya,
akan berbeda dengan uang saku yang diterima para kiai yang menggunakan
mobil. Kiai yang bermobil pun ada kelas-kelasnya. Kalau mobilnya jelek,
uang sakunya akan lebih sedikit. Kiai yang datang dengan mobil yang
lebih mahal atau mewah, uang sakunya akan semakin tebal. “Kiai sekarang
beda mas dengan kiai-kiai dulu,” kata Sunardi.
Dia memberi contoh. Dulu, jika pemerintah membantu pondok pesantren
untuk membangun kelas atau lokal madrasah, katakanlah dua kelas, maka
kiai akan menjual sapi atau harta benda lainnya agar bantuan pemerintah
bisa berwujud menjadi enam kelas. Sekarang, jika kiai dibantu membangun
dua kelas, yang dibangun hanya satu kelas. “Sisanya masuk ke kantong
kiai,” katanya.
“Dengan kejadian di Karang Gayam ini, Syiah jadi pusat perhatian.
Kalau tidak ada kejadian, Syiah tidak akan naik. Para kiai itu sekarang
tidak ada yang berani ngomong, tapi kalau ngomong proyek Rp 100 juta
mereka mau. Mereka itu maunya kan menambah istri dan beli mobil baru,”
kata Hamid.
Pilkada dan asal-usul konflik
Isu NU dan non-NU di Sampang memang menjadi isu
sensitif dan bisa dijadikan alat kepentingan. Di kota itu, bahkan
seorang bupati hari-harinya harus disibukkan oleh unjuk rasa dari para
demonstran yang mengatasnamakan NU. Gara-garanya, perkataan Noer Tjahja.
Bupati Sampang itu dituding telah melecehkan NU. Noer yang sewaktu
musim Pilkada berpasangan dengan Fanan Hasyib, lalu dituding sebagai
pengikut Muhammadiyah. Asal-usul keturunannya juga dipersoalkan.
Dianggap bukan keturunan Panji, bangsawan dari Sampang.
“Kalau satu kali mungkin dia salah omong, dua kali dimaklumi. Kalau
berkali-kali, pasti ada sesuatu. Muhammadiyah di Sampang ini tidak ada
pengikutnya. Dulu masjid Muhammadiyah di sini dilempari batu,” kata
Fanan sembari menganggap Noer sudah berkali-kali melecehkan NU.
Fanan dan Noer memang tidak akur. Beberapa pegawai di Pemda Sampang
menuturkan, keduanya bahkan sudah tidak kompak setelah enam bulan mereka
dilantik 26 Februari 2008. Fanan kini lebih banyak tinggal di rumah
dinasnya, dan praktis bisa dikatakan tidak bekerja sebagai wakil bupati.
Pada musim Pilkada 2013, Fanan berniat maju sebagai calon bupati,
menantang Noer, dan KH Sholahurrobbani [sepupu Fanan] yang dikabarkan
juga akan maju sebagai calon bupati.
Fanan menuturkan, dirinya mengikuti berita kasus pembakaran
rumah-rumah pengikut Syiah di Karang Gayam dan Bluuran. Sebagai pemimpin
di daerah, dia mengaku pembakaran itu bertentangan dengan HAM, tapi
sebagai pengikut Sunni dia menentang keras ajaran Syiah berkembang di
Sampang.
Dia bahkan setuju, kalau pengikut Syiah seluruhnya dipulangkan ke
Iran. “Seperti kata Habib Tohir dari Pekalongan, sebaiknya orang-orang
Syiah itu dikembalikan saja ke Iran. Selesai. Tidak usah diajarkan di
[Sampang] sini,” kata Fanan.
Di tengah masyarakat dan kiai di Sampang yang mudah memberi cap
kepada orang lain yang tidak sepaham sebagai kafir dan sesat itulah,
muncul Tajul dengan Syiah. Habib Umar Albayyiti, dari Desa Temoran,
Omben, menggambarkan Tajul sebagai orang yang alim, dan suka membantu.
“Wajahnya ganteng. Pintar. Dia banyak tamunya, dan punya banyak santri.
Kiai lain, sepi. Kiai-kiai di Karang Gayam itu sebetulnya masih kerabat
semua dengan Tajul,” kata Umar.
Umar bercerita, apa yang menimpa Tajul dan pengikutnya sebetulnya
bisa jadi dipicu oleh faktor cemburu dari para kiai setempat. Tajul
dianggap merongrong pamor para kiai yang mulai kehilangan wibawa.
Kejadian itu kata dia mirip dengan yang menimpanya pada awal 1999.
Saat itu tengah malam, ratusan orang mendatangi rumah Umar di
Temoran. Massa yang membawa obor dan senjata tajam berteriak-teriak
meminta Umar keluar dari rumahnya. Umar yang kebetulan berada di sebuah
warung yang tak jauh dari rumahnya, segera mendatangi kerumunan massa
itu. Dia menanyakan maksud kedatangan orang-orang itu, yang lalu dijawab
dengan tuduhan: Umar menyembunyikan maling di rumahnya. Umar
mempersilakan orang-orang yang marah itu masuk ke rumahnya untuk
memeriksa tapi mereka tidak menemukan yang dicari.
Sampai sekarang Umar mengaku tidak tahu, mengapa orang-orang itu
datang ke rumahnya dengan marah. Dia hanya bisa menduga, kedatangan
orang-orang ke rumahnya malam itu bisa jadi karena dipicu oleh rasa
cemburu dari para kiai di sekitar rumahnya. Pemicunya, rumah Umar sering
dan banyak kedatangan tamu. Dari mana saja. Ada yang minta tolong, ada
yang cuma silaturahmi dan macam-macam.
“Kejadian [pembakaran rumah-rumah dan pengusiran orang-orang Syiah]
di Karang Gayam itu, saya kira juga demikian. Ada faktor kecemburuan
dari salah satu pihak. Siapa yang iri? Dari cerita Husein kepada saya,
Rois itu yang cemburu,” kata Umar.
Husein yang dimaksud Umar adalah salah satu orang kepercayaan Tajul
yang menurut Umar sering datang berkunjung ke rumah Umar. Namun menurut
Munif, terlalu jauh kalau dikatakan para ulama dan kiai di Omben
tersinggung karena Tajul punya banyak pengikut.
Feri Ferdiansyah, Kepala Biro
Radar Madura di Sampang
menuturkan, Tajul memang beda dengan Rois adiknya. Bukan saja lebih
pintar, tapi penampilan Tajul juga lebih tenang. “Nanti kalau bertemu
dengan keduanya, sampean bisa lihat sendiri,” kata Feri.
Secara tidak langsung, Mas’udi Cholili Sekretaris PCNU Sampang juga
mengakui perilaku dan kepintaran Tajul. Pernah dalam sebuah perdebatan
dengan para ulama di Omben, Tajul bahkan hampir mematahkan semua argumen
para kiai yang menyesatkan Syiah. Tajul kata Mas’udi menjawab semua
pertanyaan kiai, tapi tidak bisa menjawab satu hal. Mas’udi mengaku
lupa, satu hal yang tidak bisa dijawab Tajul.
Umar bercerita, suatu hari dirinya menerima undangan dari para kiai
di Omben untuk melakukan musyawarah. Undangan itu berkali-kali
disampaikan ke Umar tapi Umar tidak pernah memenuhinya karena musyawarah
yang diadakan di rumah mendiang Haji Sa’bi [tokoh masyarakat Omben]
dinilainya hanya bertujuan untuk mendesak Tajul agar kembali ke Sunni.
“Kiai-kiai yang tidak mau ikut dianggap sama dengan Tajul, tapi saya
tidak pernah datang. Saya tidak mau,” kata Umar.
Umar tidak ingat kapan pertemuan di rumah Sa’bi dilakukan tapi dari
keterangan yang disampaikan Zainal Hambali, Sekretaris Intelijen Daerah
Sampang; pertemuan di rumah Sa’bi, kali pertama terjadi pada 20 Februari
2006. Konon hadir para kiai se-Madura dan pejabat Muspika. Penggagasnya
adalah KH Ali Kharrar Sinhaji, pengasuh PP Darul Tauhid di Propon,
Sampang. Dia masih terbilang paman dari Iklil, Tajul dan Rois.
Belum jelas, mengapa para kiai itu berkumpul di rumah Sa’bi kecuali
dengan satu alasan: ajaran Syiah yang dibawa Tajul dianggap telah
meresahkan masyarakat. Juga tidak terang mengapa Ali Kharar menggagas
pertemuan itu dan Sa’bi kemudian bersedia menjadi tuan rumah pertemuan.
Iklil melarang saya menghubungi Ali Kharar.
Satu hal yang agak jelas, pertemuan di rumah Sa’bi itu adalah
pertemuan pertama yang khusus menyoal Tajul dan Syiah di Omben dan
Karang Penang. Hasil dari pertemuan itu adalah para kiai sepakat untuk
meminta Tajul kembali ke Sunni dan melarangnya melakukan aktivitas
dakwah [Syiah] untuk sementara waktu. Tajul diberi waktu seminggu untuk
menjawab keputusan para kiai itu dan diharuskan datang ke rumah Sa’bi.
Tanggal 26 Februari 2006, Tajul tidak datang ke rumah Sa’bi seperti
yang diminta para kiai. Dia mewakilkan dirinya kepada Busry dan KH.
Wahab [pamannya]. Dua orang yang mewakili Tajul itu membawa pesan, Tajul
bersedia kembali ke Sunni. Selesai.
Masalah muncul kembali pada musim Maulid 2007. Saat itu Tajul berniat
mengundang beberapa ustad untuk berceramah di acara Maulid di rumahnya,
tapi sebelum acara berlangsung, massa sudah lebih dulu mendatangi rumah
Tajul dan meminta para penceramah tidak berceramah di desa mereka.
Tajul tidak mengerti, alasan warga menolak para penceramah Maulid yang
didatangkan olehnya.
Di bulan puasa dua tahun kemudian, terjadi kasus ancam-mengancam
antara pengikut Tajul dan Rois. Dari catatan Zainal, pemicunya adalah
ancaman dari Mat Siri, salah seorang pengikut Tajul kepada Amin. Nama
yang terakhir adalah seorang ustad yang berniat mengadakan pengajian
Ramadan. Rumah Amin kebetulan berdekatan dengan Mat Siri. Kepada
tetangganya itu, Mat Siri kabarnya menyampaikan ancaman, kalau pengajian
di rumah Amin menyinggung-nyinggung soal ajaran Syiah, maka dia dan
yang lain akan berunjuk rasa ke rumah Amin.
Kasus Mat Siri itu tidak ada kelanjutannya, tapi sebulan kemudian
muncul perselisihan antara Zainul Jakfar [anak asuh Rois] dan Mudawi
[anak asuh Tajul]. Konon, Mudawi mengacungkan celurit kepada Zainul.
Kejadian itu disaksikan oleh para tetangga, sehingga hampir memicu
bentrok antara pengikut Rois dan Tajul.
Lalu entah apa hubungannya, FPI Pamekasan dan Ikatan Santri Karang
Gayam melaporkan Tajul ke Polwil Madura pada 16 Oktober 2009. Alasan
laporan mereka, ajaran Syiah yang dibawa Tajul telah membuat resah
masyarakat. Laporan FPI ke polisi itu disertai ancaman, jika polisi
tidak memberikan keputusan soal Tajul dan ajarannya, maka mereka akan
berunjuk rasa mendatangi kediaman Tajul. Karena laporan FPI itu,
kapolres Sampang bersama pejabat lain di Sampang membuat lima keputusan,
yang intinya melarang Tajul menyebarkan ajaran Syiah.
Kasus berikutnya muncul 21 Januari 2011 di Bluuran. Gara-garanya,
seorang ibu bernama Mitsirah menolak pemberian Rustami, anaknya yang
Syiah. Rustami tersinggung dan kabarnya mengucapkan kata-kata yang
intinya memutuskan hubungan silaturahmi antara orang tua dengan anak.
Saudara Rustami bernama Mistari, yang mendengar ucapan Rustami kepada
ibunya, tidak terima. Dia mengancam membunuh Rustami. Para tetangga
datang untuk melerai tapi kasus itu tidak berkelanjutan, hingga terjadi
kasus pada Kamis 29 Desember 2011: rumah-rumah dibakar dan orang-orang
Syiah diusir.
Sembilan perempuan
Rudy Setiadhi, Kepala Bakesbangpol Pemkab Sampang
menjelaskan, kasus pembakaran di Karang Gayam dan Bluuran hanya puncak
dari perseteruan panjang antara satu keluarga: Tajul dan Rois. Kali ini
yang menjadi akar masalah adalah perempuan. “Bukan cuma satu perempuan,
tapi masih ada sembilan perempuan. Halimah itu salah satunya. Dia itu
masih anak-anak, masih SD. Rois itu suka kawin cerai, begitulah. Tajul
itu tahu kebiasaan Rois, dan Rois tahu isi dapur Syiah,” kata Rudy.
Dia menjelaskan, pihaknya sudah berkali-kali berusaha mendamaikan
keduanya, tapi perseteruan terus berlangsung. Beberapa hari setelah
Lebaran tahun lalu, keduanya bahkan dipertemukan di ruang kerja Rudy.
“Saya bilang ke mereka, ‘Ayolah rukun, tak usah berantam, kalian kan
bersaudara’,” kata Rudy.
Rois mengaku tidak tahu persis, penyebab atau pemicu pembakaran
rumah-rumah milik saudaranya, di Kamis yang nahas itu. Dia hanya
mengatakan, penyebabnya banyak. “Saudara saya Tajul sering mengkhianati
perjanjian musyawarah dengan pemerintah dan masyarakat,” katanya.
Terakhir, kata Rois perjanjian itu dibuat di Kecamatan Omben, 17
Desember 2011 atau 12 hari sebelum terjadi pembakaran. Pihak Tajul
diwakili oleh Iklil. Isinya berupa pernyataan dari Tajul yang berjanji
tidak akan mengadakan aktivitas dakwah demi kemaslahatan umat. Tajul
mengonfirmasi surat pernyataan yang dibuat di Kantor Kecamatan Omben
sebagai tulisannya, tapi menolak mengakui pernyataan-pernyataan lain
karena dianggap rekayasa dan dibuat sepihak oleh orang-orang yang tidak
senang kepada dirinya.
Rois akan tetapi tidak menolak, masalah kali ini bisa jadi juga
dipicu soal perempuan bernama Halimah yang disebutkan oleh Rudy. Halimah
adalah putri Mat Badri. Rois mengaku, perempuan itu telah dipinangnya
karena permintaan istrinya Kholifah. Sewaktu dipinang, usia Halimah baru
12 tahun, masih duduk di bangku SD. “Saya sudah tidak mau, tapi istri
saya yang meminta agar saya menikahi Halimah,” kata Rois.
Kholifah membenarkan bahwa Halimah sudah dipinang olehnya untuk
suaminya. Belakangan, menurut Rois, Tajul meminta dirinya untuk
melepaskan Halimah karena mau dinikahi oleh Tajul. “Saya mengalah,”
katanya.
Tentu saja cerita Rois dan Kholifah dibantah oleh Tajul, Iklil, dan
Mat Badri [orang tua Halimah]. Tajul menjelaskan, Halimah sebetulnya
hanya diminta membantu di rumah Rois, bukan dipinang. Karena Rois
dikenal sebagai kiai, orang tua Halimah mengizinkan anaknya ikut Rois.
Suatu hari, Tajul didatangi Zainal yang meminta tolong agar
meminangkan Halimah untuk Dul Azid, anaknya. Tajul memenuhi keinginan
Zainal tersebut dan pinangannya diterima oleh Mat Badri. Karena
mengetahui Halimah telah dipinang oleh orang lain, Rois tidak terima dan
memanggil Mat Badri, Zainal dan Dul Azid.
Sebelum memenuhi panggilan Rois, tiga orang itu meminta pendapat
Tajul: apakah memenuhi panggilan Rois atau tidak. Tajul menyarankan agar
tidak memenuhi panggilan Rois, dengan alasan Rois adalah orang yang
temperamental dan suka memukul orang. “Saya kuatir mereka dipukul, dan
mereka tidak memenuhi panggilan Rois,” kata Tajul.
Kini Halimah tinggal bersama suaminya di Surabaya. Iklil meminta anak
perempuan itu tidak usah diekspos, karena kuatir mengganggu sekolahnya.
Preman dan adu jangkrik
Rudy menjelaskan, pembakaran rumah-rumah orang
Syiah di Karang Gayam dan Bluuran juga diprovokasi oleh Rois. Dari
catatan Zainal yang intel dari Pemda Sampang itu, Rois selama ini memang
sering memutar rekaman video soal ajaran Syiah dan mempertontonkannya
kepada warga yang ikut pengajian rutin di rumahnya. Rekaman video itu,
antara lain berisi soal pembantaian pengikut Sunni oleh pengikut Syiah,
dan ritual salat yang konon dilakukan pengikut Tajul di sebuah gereja di
Malang.
Dari cerita Iklil, pembakaran atas rumahnya, rumah Tajul dan rumah
Saiful adik ipar Iklil [suami Hani] terjadi sistematis. Awalnya dia
mendapat kabar dari Bu Misnawi bahwa ada sekelompok orang bersenjata
tajam yang menuju rumah Tajul. Itu sekitar jam 9 pagi. Misnawi adalah
tetangga Tajul, dia mendapat informasi dari Bu Ali yang melihat ada
sekelompok orang bergerombol di jalan menuju rumah Tajul.
Mereka pura-pura memperbaiki jalan, tapi menurut Iklil, sebetulnya
justru merusak jalan. Tujuannya agar polisi tidak segera tiba ke
lokasi. “Saat itu saya sudah berusaha menghubungi kapolsek Omben tapi
tidak ada di tempat. Saya lalu menghubungi kapolsek Karang Penang agar
segera datang ke Karang Gayam. ‘Tolong ke sini, karena saya mendengar
informasi ada orang-orang yang hendak datang ke rumah Tajul’,” kata
Iklil.
Upaya Iklil sia-sia, karena massa sudah muncul di rumah Tajul dan
langsung merusak dan membakarnya. Dari jarak 20 meter, dia melihat dan
mengenali beberapa orang yang ikut membakar. Antara lain Hosen dan
Hasbullah. Orang-orang itu mengacungkan celurit kepada Iklil.
Di rumah Saiful yang juga ikut dibakar, Iklil mengenali Arifin,
Sahrudin, Hudali, Masdi sebagai orang yang ikut membakar. Mereka semua
menghunus celurit. Sebelum dibakar, tiga anak Saiful masih berada di
dalam rumah. Berkat pertolongan tetangga, tiga anak itu bisa
diselamatkan.
Hamid, tokoh pemuda Omben itu bercerita, sebelum massa membakar rumah
Iklil, pada siang harinya, rumah itu sebetulnya sudah dijaga 13 polisi
tapi karena kalah jumlah dengan massa, polisi itu tidak berdaya.
Kapolres Sampang yang datang ke lokasi pada saat kejadian, bahkan juga
ikut diancam. Hamid mengaku mengetahui semua itu dari cerita iparnya
yang polisi dan ikut berjaga di rumah Iklil. Sementara Munif
menjelaskan, salah seorang anak Rois juga ikut membakar.
Hali dan Dailami bercerita, orang-orang yang membakar itu mengenakan
tutup wajah. Mereka tiba-tiba muncul dari balik bukit. Munif mendengar,
anak Rois ikut pula membakar.
Umar menduga, mereka yang membakar rumah Tajul dan saudaranya bukan
hanya berasal dari Karang Gayam, melainkan juga dari Karang Penang.
“Mereka itu bukan santri. Itu para bromocorah. Mana ada, santri
bawa-bawa celurit dan membakar rumah orang?” kata Umar.
Seorang pengurus PCNU Sampang punya cerita lain soal pelaku
pembakaran. Dia mendengar, KH Syafiuddin Wahid, Rois Syuriah PCNU
menyampaikan kasus pembakaran itu ada indikasi berhubungan dengan
pembebasan Gunjeg dari tahanan polisi. Syafiuddin tak mau memberi
penjelasan.
Gunjeg adalah tokoh preman. Dia warga Kecamatan Camplong, Sampang
yang ditangkap polisi karena kasus judi sabung ayam. Kono, beberapa
politisi berusaha membebaskan Gunjeg dari tahanan tapi Kapolres Sampang,
Solehan bersikukuh tak mau melepaskan Gunjeg. Entah bagaimana
ceritanya, Gunjeng kemudian bebas. Itu terjadi beberapa hari sebelum
peristiwa pembakaran rumah-rumah milik orang Syiah di Karang Gayam dan
Bluuran.
Seorang tokoh di Omben yang rumahnya sering dijadikan tempat
berkumpul kepala desa mengungkapkan, setidaknya ada delapan kepala desa
yang berpatungan masing-masing Rp 5 juta untuk membebaskan Gunjeng, tapi
dia tidak melihat ada hubungan Gunjeg dengan kasus pembakaran di Karang
Gayam dan Bluuran. Tajul dan Rois mengaku tahu siapa Gunjeg, tapi Rois
menolak keras anggapan dirinya kenal dan berkawan dengan Gunjeg. Iklil
mengungkapkan kebiasaan Rois adalah mengadu jangkrik.
Munif punya cerita berbeda. Dia mengaku pernah diminta untuk
mendamaikan Rois dan Tajul oleh pihak kepolisian, tapi dia menolak.
Alasannya, perseteruan kakak-beradik itu sudah ditunggangi kepentingan
politik menjelang Pilkada 2013.
Kiai dari Kajuk Sampang, juga berpendapat, kasus di Karang Gayam dan
Bluuran itu telah menjadi dagangan banyak pihak. Dari semula hanya
persoalan keluarga, lalu ditarik atau digiring menjadi isu Syiah dan
Sunni. Dengan menggiring perselisihan keluarga menjadi isu Syiah-Sunni,
ada yang berharap mendapat dukungan.
Dia bercerita, kasus antara Rois dan Tajul sebetulnya sudah
berkali-kali dicoba didamaikan tapi tidak selesai, dan sekarang menjadi
semakin terbuka. Maka ketika persoalan keluarga ditarik menjadi
persoalan paham, yang diuntungkan kata dia, adalah pihak yang selama ini
tidak diuntungkan dari sengketa keluarga itu.
“Saya menduga Rois mendapat keuntungan. Dia tahu, masyarakat Madura
adalah Sunni. Ini bombastis. Kalau kami, para kiai di Sampang sudah tahu
dan paham ada perbedaan antara Syiah dan Sunni, tapi masyarakat yang
awam sekarang mulai bertanya-tanya: Syiah itu apa, dan apa perbedaannya
dengan Sunni?” kata dia.
Kasus [pembakaran] rumah-rumah orang-orang Syiah di Karang Gayam dan
Bluuran kata dia sudah diprovokasi. “Sudah ada dan terjadi penggiringan
opini kepada masyarakat dan berhasil. MUI Sampang, kemarin sudah
menyatakan Syiah ajaran sesat. Loh, kenapa baru sekarang setelah terjadi
pembakaran?” katanya.
NU dan Albayyinat
Menyusul kasus pembakaran rumah-rumah orang-orang
Syiah dan pengusiran mereka, MUI dan PCNU Sampang, juga PWNU Jawa Timur
mengambil kesimpulan dan menyebutkan ajaran Syiah sesat. Benar, PCNU dan
PWNU tidak secara khusus menyebut Syiah dan hanya menyebutkan ajaran
yang dibawa Tajul. Namun pernyataan itu hanya permainan semantik, yang
intinya menolak Syiah karena faktanya Tajul adalah pengikut paham Syiah.
Seorang pengurus PCNU pernah mendengar, ada kesepakatan antara PWNU
Jatim dan kapolda Jatim untuk tidak lagi menyebut Syiah melainkan hanya
akan menyebut ajaran sesat. Informasi ini belum dikonfirmasi. “Kalau
menyebut Syiah, itu berbahaya karena ada organisasinya,” katanya.
PCNU dan PWNU mengaku punya alasan mengeluarkan pernyataan ajaran
Tajul sesat. M Faidhol, Ketua Tanfiziah PCNU Sampang yang ditunjuk
menjadi juru bicara menjelaskan, alasan PCNU antara lain karena
masyarakat luas menunggu, pendapat dan sikap NU terhadap ajaran dan
provokasi Tajul. Alasan lainnya, agar tidak memperluas wilayah konflik
akibat ajaran sesat Tajul dan provokasinya di masyarakat. “Kami meminta
Pemkab Sampang mengeluarkan perda sesat karena tujuannya, agar tidak ada
keresahan dan konflik atas nama agama,” kata Faidhol.
Dia menyampaikan hal itu dalam pertemuan di pendopo kabupaten
Sampang, Selasa 3 Januari 2012. Hadir dalam pertemuan itu, antara lain,
Irjen Hadiatomo [Kapolda Jatim], Palty Simanjuntak [Kajati Jatim], Noer
Tjahja [Bupati Sampang], Kapolres Sampang, KH. Abdus Samad Bukhori
[Ketua MUI Jatim], KH. Miftahul Akhyar [Rois Syuriah PWNU Jatim], KH.
Mutawakil Alallah [Ketua PWNU Jatim], KH. Muhaimin Abdul Bari [Ketua
PCNU Sampang], dan Faidol Mubarok [pengurus PCNU Sampang.
Miftahul Akhyar menjelaskan, PWNU Jatim memang mendukung pernyataan
PCNU Sampang. Dia mengaku, sudah menurunkan tim ke Sampang untuk mencari
tahu akar masalah. Hasilnya: Tajul dinilai mengajarkan aliran sesat,
karena antara lain mengajarkan salat hanya 3 kali sehari semalam,
mengecam para auliya Batu Ampar Madura, ulama dan kiai dianggap anak
zina. “Ini hasil sebagian investigasi Tim kami. Manakala ada kesalahan,
kurang akurat, kami siap memperbaiki,” kata Miftah.
Dia menolak anggapan, PCNU dan PWNU sedang berpolitik dalam kasus
ini. Dia juga membantah, bahwa PWNU mendapat dukungan dana dari al
Bayyinat. “Tolong sebutkan, siapa yang menfitnah tentang dukungan dana
itu? NU lebih kaya daripada al Bayyinat. Boleh diaudit, kalau perlu
diperiksa KPK. Kebenaran tetap kebenaran. Anda dapat cerita darimana?”
katanya.
Al Bayyinat adalah organisasi yang dipimpin Achmad Zein Alkaf. Dia
juga pengurus di PWNU Jawa Timur. Kelompok Syiah di Indonesia menuding,
organisasi itu sangat anti-syiah dan paling aktif menggalang dukungan
untuk menentang Syiah.
Lewat wawancara melalui email, Zein tidak menjawab soal dukungan dana
kepada NU. Namun, apakah Al Bayyinat dirancang khusus untuk mewaspadai
dan menentang Syiah di Indonesia?
“Para pendiri Albayyinat kebanyakan alumni Mesir, Mekah, Madinah,
Yaman dan dari dalam negeri, didukung tokoh tokoh habaib di Indonesia
dan luar Indonesia. Kami berkewajiban melaksanakan
amar ma’ruf nahi mungkar [mengajak kebaikan dan mencegah perbuatan keji], ” kata Zein.
Dia pun menolak anggapan bahwa mengusir Syiah dari Indonesia dan
menyatakannya sebagai aliran sesat bertentangan dengan Pansila dan UUD
1945. “Yang berbahaya bagi Pancasila dan UUD 45 adalah Syiah, karena
mereka patuh hanya kepada Imam mereka di Iran,” kata Zein.
Dari semua teori dan penyebab konflik, kemarin kembali pecah
kerusuhan di Karang Gayam dan Bluuran. Dua pengikut Syiah tewas, 3
luka-luka. Di kelompok penyerang, dikabarkan 2 orang luka berat.
Orang-orang Syiah itu diserang ketika bersikeras kembali ke kampung
halaman mereka untuk berlebaran dan bersilaturahmi dengan sanak famili,
setelah terusir sekian bulan.
Karena kasus di Omben dan Karang Gayam itu, kini warga awam pun
mulai dengan mudah memberi cap orang-orang Syiah sebagai penganut aliran
sesat. Mereka menilai paham mereka benar, sementara paham orang lain
yang tidak sama adalah keliru dan kafir. Seperti kata Zein, mereka juga
mengaku mengajak ke kebaikan dan mencegah kekejian.
Padahal kata seorang kiai di Omben, menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar tentu dan pasti tidak membakar, tidak merusak, dan tidak membunuh. Dalam ungkapan bahasa Madura, kiai itu berkata:
emok ngetong jhelenna ajem, kaloppae sokona dhibhik niddhek tamaccok [mereka hanya sibuk menghitung langkah ayam, tapi lupa kaki mereka justru menginjak tahi ayam].
Sumber : rusdi mathari
Pada 27 Agustus 2012
Sumber