Pengasuh dan segenap Pengurus Ahlul Bayt Times mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Adha 10 Zulhijah 1433 H.

Video

Kamis, 30 Agustus 2012

Kumpulan Fatwa Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Rahbar Ayyatullah al - Udzma Sayyid Ali Khamenei R.a

Benar atau tidaknya amalan seseorang bergantung pada pengetahuannya akan masalah-masalah agama (syar’i) dan mengamalkannya. Salah satu cara untuk mengetahui hukum agama adalah dengan mengikuti fatwa atau taqlid kepada mujtahid yang memenuhi seluruh persyaratan ijtihad.
Untuk memperoleh informasi tentang fatwa seorang marja’ taqlid (mujtahid yang fatwanya diikuti) kita bisa merujuk ke buku Risalah Amaliyah (Kumpulan Fatwa) yang diyakini mewakili fatwanya.
Berdasarkan realitas, dimana banyak para mukallaf setelah wafatnya Ayatullah Al-Udhma Syaikh Ali Arakiy ingin bertaqlid kepada Ayatollah Al-Udhma Khamenei, pada saat yang sama hingga saat ini kumpulan fatwa beliau sedang dalam penyusunan dan belum diterbitkan, sementara buku ‘Ajwibah Al-Istifaat’ (Jawaban atas Pertanyaan Fatwa) tidak mnecakup semua masalah keseharian, maka kami memandang perlu untuk menyusun perbedaan yang ada antara fatwa beliau dan fatwa Imam Khomeini dengan berpijak pada buku Ajwibah Al-Istifaat dan beberapa sumber lainnya, sehingga setiap mukallaf dapat dengan mudah mengetahui masalah ini.



Imam Ali Khamenei :
1. Jika para mujtahid yang memenuhi syarat untuk diikuti berjumlah banyak dan fatwa mereka berbeda-beda, maka sesuai dengan prinsip ihtiyat seorang mukallaf wajib mengikuti (bertaqlid) kepada yang paling unggul dalam keilmuan (a’lam), kecuali jika fatwanya bertentangan dengan ihtiyat sementara fatwa mujtahid yang tidak a’lam sesuai dengan prinsip ihtiyat,  maka dalam hal ini tidak wajib untuk mengikuti fatwa mujtahid yang a’lam.
2. A’lam adalah seorang mujtahid yang lebih bisa dari pada yang lainnya dalam hal menyimpulkan hukum Allah dari dalil-dalilnya. Begitu juga ia memiliki pengetahuan yang cukup akan situasi dan kondisi zamannya yang berpengaruh pada proses identifikasi obyek hukum dan tugas syar’i.  
3. Memulai taqlid kepada mujtahid yang sudah meninggal tidak boleh berdasarkan prinsip ihtiyat wajib.

Soal:
Seorang remaja yang baru mencapai usia baligh dan bertaqlid kepada Anda (Ayatollah Al-Udhma Khamenei), namun karena di awal taklif dia perlu membaca dan mengenal seluruh masalah fikih, bolehkan ia menelaah kumpulan fatwa Imam Khomeini r.a?

Jawab:
Dalam masalah-masalah umum yang dibutuhkan oleh para remaja tercinta, silahkan merujuk kumpulan fatwa Imam Khomeini. Dan jika mereka tidak mendapatkan jawaban dari permasalahan yang dihadapi dalam buku tersebut silahkan mengajukan pertanyaan!

Thaharah

1. Ukuran Air Kur Kurang lebih 384 liter. 
2. Soal:
Apakah orang-orang Ahlul Kitab itu suci atau najis?

Jawab:
Tidak ada kejelasan bahwa mereka najis dzatiy. Menurut pandangan kami mereka dihukumi suci.
Orang-orang Ahlul Kitab itu adalah orang-orang yang beragama Kristen, Yahudi, Zoroaster dan Shabiin. 
3. Kotoran burung yang haram dimakan, tidak najis.
4. Darah yang ada pada telur ayam dihukumi suci namun haram untuk dikonsumsi.
5. Soal: Kami mohon penjelasan Anda tentang daging, kulit dan anggota badan binatang lainnya yang diimpor dari negara-negara non muslim?

Jawab:
Jika ada indikasi bahwa ia disembelih dengan cara yang sesuai dengan aturan syariat Islam, maka dihukumi suci, jika yakin bahwa binatang itu tidak disembelih secara sya’i maka hukumnya najis. 
6. Minuman yang memabukkan berdasarkan ihtiyat, najis. 
7. Sesuatu yang bersentuhan dengan benda najis dan menjadi najis jika bersentuhan lagi dengan sesuatu yang lain dalam keadaan basah, maka ia juga menjadi najis. Begitu juga sesuatu yang menjadi najis tersebut jika bersentuhan dengan sesuatu yang lain, maka ia pun berdasarkan prinsip ihtiyat menjadi najis. Namun benda najis yang ke tiga ini tidak lagi membuat najis benda lain berikutnya. 
8. Jika kita meyakini, bahwa badan seorang muslim najis atau suatu barang yang ia miliki najis, kemudian untuk beberapa waktu kita tidak menjumpainya, maka di saat kita berjumpa lagi dengannya dan kita menyaksikannya memperlakukan barang-barang najis tersebut layaknya barang yang suci, maka kita (bisa) memperlakukannya layaknya barang yang suci dengan syarat orang tersebut mengetahui kondisi awal bahwa barang-barang tersebut najis dan kita mengetahui, bahwa orang tersebut memahami hukum-hukum najis dan kesucian.
9. Soal:
Di saat membuang air kecil, berapa kali harus dituangkan air kepadanya hingga bisa dihukumi suci?

Jawab:
Tempat keluarnya air kencing, sesuai prinsip ihtiyat menjadi suci dengan dua kali dibasuh. 
10. Tempat keluarnya kotoran (dubur) bisa disucikan dengan salah satu dari dua cara: 1) dengan air sampai najisnya hilang (setelah itu tidak perlu lagi ada pengulangan). 2) dengan tiga batu, kain atau benda sejenisnya. Jika dengan tiga batu belum hilang, maka wajib diulang hingga bersih. Boleh juga dengan satu batu atau kain dan sejenisnya tapi diusap (dipoles) dengan tiga tempat (bagian) yang berbeda. 

Wudhu'
1. Usapan kaki (diharuskan) hingga pergelangan (awal betis) kaki.
2. Wajah dan tangan wajib dibasuh dari atas ke bawah dan jika dibasuh dari bawah ke atas maka wudhu’nya batal.
3. Membasuh wajah dan tangan di saat berwudhu’ pada basuhan pertama hukumnya wajib, ke dua boleh dan selebihnya tidak disyariatkan. Penentuan basuhan pertama atau ke dua ada pada niat pelaku wudhu’. Karenanya boleh saja menuangkan beberapa kali ke wajah tapi dengan niat sebagai satu basuhan. 
4. Mengusap kepala dan kaki haruslah dengan sisa air yang ada di tangan dan berdasarkan ihtiyat wajib, kepala diusap dengan tangan kanan, namun tidak wajib dari atas ke bawah.
5. Jika pada anggota wudhu terdapat luka terbuka atau patah tulang dengan luka yang terbuka, dan menuangkan air tidak membahayakan, maka wajib membasuhnya dengan air. Namun jika hal itu berbahaya, maka wajib untuk membasuh sekitar tempat tersebut, dan berdasarkan ihtiyat wajib, diharuskan mengusapkan tangan basah ke atas bagian luka jika hal itu tidak membahayakan.
6. Apabila luka tersebut ada pada bagian yang wajib diusap dan tidak bisa (langsung) diusap dengan tangan yang basah, maka ia wajib bertayammum. Namun jika bisa untuk meletakkan kain di atasnya lalu mengusapnya, maka berdasarkan ihtiyat selain bertayammum dia harus berwudhu dengan mengusap pada kain tersebut. 

Mandi 
1. Mendahulukan setengah badan sebelah kanan dalam mandi (wajib) berdasarkan prinsip ihtiyat. Artinya sesuai dengan prinsip ihtiyat wajib, terlebih dahulu membasuh bagian kanan tubuh kemudian bagian kiri.
2. Diantara yang diharamkan bagi seorang yang sedang dalam keadaan janabah adalah membaca ayat yang mewajibkan sujud. (karenanya membaca ayat-ayat lainnya dari surah-surah tersebut tidaklah bermasalah).
3. Menyentuh anggota badan mayat yang terpisah –setelah tubuhnya dingin dan belum dimandikan- sama hukumnya dengan menyentuh mayat. Namun menyentuh anggota tubuh yang terpisah dari manusia yang masih hidup tidak menghasilkan kewajiban mandi.

Tayammum 
1. Soal:Bagaimana cara bertayammum? Apakah perbedaan antara cara bertayammum sebagai ganti dari wudhu’ dengan tayammum sebagai ganti dari pada mandi? Jawab:Tayammum (dilakukan) dengan cara tertib seperti berikut:a)      Berniat.b)      Memukulkan dua telapak tangan ke              benda yang boleh dijadikan sebagai              bahan tayammum.c)      Mengusapkan dua telapak tangan ke seluruh dahi dari tempat tumbuhnya rambut hingga ujung hidung bagian atas mencakup alis.d)      Mengusap seluruh bagian luar telapak tangan kanan dengan bagian dalam telapak tangan kiri kemudian mengusap seluruh bagian luar telapak tangan kiri dengan bagian dalam telapak tangan kanan.e)      Berdasarkan ihtiyat wajib memukulkan lagi dua telapak tangan ke benda yang boleh dijadikan sebagai bahan tayammum.f)        Mengusap seluruh bagian luar telapak tangan kanan dengan bagian dalam telapak tangan kiri kemudian mengusap seluruh bagian luar telapak tangan kiri dengan bagian dalam telapak tangan kanan.·        Cara di atas tidak berbeda antara tayammum sebagai ganti dari wudhu dengan tayammum sebagai ganti dari pada mandi.
2. Soal:Bagaimana hukum bertayammum dengan batu  kapur yang sudah dimasak atau batu bata? Jawab:Tayammum dengan segala sesuatu yang ada di atas bumi, seperti batu kapur sah hukumnya. Karenanya bertayammum dengan batu kapur yang sudah dimasak dan batu bata serta sejenisnya juga tidak masalah.  Soal:Bagaimana hukumnya sujud di atas semen dan perselen (tegel) dan bagaimana pula hukum bertayammum dengannya?   Jawab:Sujud dan tayammum pada keduanya tidak bermasalah. Namun, scara ihtiyat, hendaknya dihindari bertayammum dengan keduanya.
3. Soal:Anda menjelaskan bahwa bahan yang dijadikan sebagai alat tayammum haruslah suci. Apakah anggota tayammum –dahi dan bagian luar telapak tangan- juga harus suci? Jawab:Berdasarkan prinsip ihtiyat, selama memungkinkan dahi dan dua tangan haruslah suci dan jika tidak memungkinkan untuk disucikan, maka haruslah bertayammum tanpa menyucikannya. Tidak tertutup kemungkinan bahwa kesucian dalam semua kondisi itu tidak disyaratkan.
4. Seseorang yang bertayammum sebagai ganti dari pada mandi, jika melakukan hadas kecil, seperti kencing, maka untuk melakukan shalat berikutnya jika belum bisa mandi, sesuai prinsip ihtiyat wajib hendaknya ia bertayammum lagi sebagai ganti dari mandi dan berwudhu (lagi). 
5. Seseorang yang tidak bisa berwudhu dan bertayammum, maka berdasarkan ihtiyat wajib untuk melakukan shalatnya tanpa kesucian. Dan setelah (bisa bersuci) ia wajib meng-gadha’-nya.  
6. Seseorang yang melakukan tayammum karena kekhawatiran dan ketakutan akan adanya bahaya jika menggunakan air, jika setelah bertayammum dan sebelum melaksanakan shalat dia tahu bahwa ternyata air tidak akan membahayakannya, maka tayammumnya batal. Namun jika hal itu terjadi setelah melaksanakan shalat, maka sesuai dengan prinsip ihtiyat wajib, ia harus mandi atau wudhu’ dan mengulang shalatnya.

Hukum Jenazah 
Seyogyanya seorang muslim di saat ihtidhar ditidurkan dalam keadaan terlentang dimana keduanya ke dua telapak kaki bagian bawahnya menghadap ke arah kiblat. Banyak ulama yang mewajibkan hal itu pada orang yang sedang ihtidhar sendiri – di saat mampu – dan bagi orang lain (yang ada di sekitarnya). Sesuai prinsip ihtiyat hendaknya hal itu tidak ditinggalkan
Orang yang memandikan jenazah haruslah seorang muslim bermadzhab 12 Imam, berakal sehat (aqil), baligh dan mengetahui hukum-hukum seputar memandikan jenazah

Kiblat 
Jika seseorang tidak memiliki cara untuk mengidentifikasi arah kiblat atau setelah berusaha tetap belum memiliki pengetahuan (keyakinan) atau dugaan ke salah satu arah, maka berdasarkan prinsip ihtiyat, ia wajib melaksanakan shalat ke empat arah  dan bila waktu tidak mencukupi untuk melakukan empat shalat ke empat arah berbeda, maka hendaklah ia melakukan shalat semaksimal waktu yang memungkinkan

Waktu Shalat
Soal:Apakah pada malam-malam terang bulan harus menunda pelaksanaan shalat hingga 20 menit dari adzan subuh, padahal kita sudah yakin dengan terbitnya fajar pada 15 menit setelah adzan Subuh? Jawab:Dalam hal identifikasi terbitnya fajar sebagai awal masuknya waktu shalat dan akhir dari makan sahur tidak ada perbedaan antara malam terang bulan dengan lainnya. Walaupun sudah barang tentu melakukan ihtiyat (dengan mengakhirkan pada malam-malam terang bulan) adalah sebuah kebaikan. Soal:Dikarenakan adanya perluasan kota dan kesulitan untuk memastikan terbitnya fajar, maka kita yang akan memasuki bulan suci Ramadhan berharap dari Anda untuk menjelaskan bagaimana menentukan masuknya waktu Subuh dan mengakhiri makan sahur sebagai awal dari pelaksanaan kewajiban puasa? Jawab:Seyogyanya bagi kaum mukminin yang dirahmati Allah untuk bersikap hati-hati pada penentuan waktu shalat Subuh dengan menunda 5-6 menit setelah adzan Subuh yang dikumandangkan oleh TV/ Radio dan mengakhiri makan sahur pada saat adzan mulai dikumandangkan
Soal:Apakah waktu shalat Ashar hingga adzan Maghrib ataukah hingga terbenamnya matahari? Jawab:Akhir waktu Ashar adalah sampai terbenamnya matahari
Seorang yang akan melaksanakan shalat hendaknya memiliki keyakinan, bahwa waktu shalat telah masuk atau ia mendapatkan informasi dari dua orang yang adil atau seorang muadzdzin yang terpercaya
Jika seseorang melaksanakan shalat Ashar karena mengira dirinya telah mengerjakan shalat Dzuhur dan di tengah-tengah shalatnya ia sadar, bahwa ia belum melaksanakan shalat Dzuhur, jika ia berada pada waktu musytarak, maka ia harus langsung mengubah niatnya menjadi shalat Dzuhur serta menyempurnakannya  dan setelah itu ia melaksanakan shalat Ashar. Namun jika hal itu terjadi pada waktu khusus Dzuhur, maka ia wajib mengubah niatnya menjadi shalat Dzuhur serta menyempurnakannya setelah itu ia melaksanakan shalat Ashar dan berdasarkan ihtiyat ia wajib mengulangi shalat Dzuhur dan Asharnya lagi. Tugas semacam ini juga berlaku pada shalat Maghrib dan Isya

Pakaian Shalat 
Memakai perhiasan emas seperti kalung, cincin dan jam tangan hukumnya haram bagi orang laki-laki dan sesuai prinsip ihtiyat, tidak sah shalat dengan memakai perhiasan tersebut
Bagaimana pandangan Anda tentang hukum memakai emas putih bagi orang laki-laki? Jawab:Jika yang dimaksudkan adalah emas yang diubah warnanya dengan bahan tertentu sehingga menjadi putih maka hukumnya tetap haram. Namun platina atau bahan lain yang dicampur dengan emas dengan kadar yang sangat sedikit sehingga dalam pandangan umum tidak disebut sebagai emas, maka tidak apa-apa
Pakaian orang laki-laki yang melaksanakan shalat, sekalipun seperti kopiah, kaos kaki dan pengikat baju, tidak boleh terbuat dari sutra murni. Begitu juga di luar shalat pun haram hukumnya bagi laki-laki memakai pakaian yang terbuat dari sutra murni
Jika badan atau pakaian pelaksana shalat berlumuran darah –selain darah luka, borok atau bisul- yang kadarnya tidak melebihi satu ruas jari telunjuk, maka shalatnya tidak bermasalah (sah) namun jika lebih dari kadar tersebut, maka batallah shalatnya
Pada masalah yang lalu telah ditanyakan hukum darah haid, yakni, sedikitpun darah haid yang ada di badan atau pakaianm maka shalat dengannya tidak sah. Dan seusai prinsip ihtiyath wajib, darah nifas dan istihadhah juga darah binatang yang najis serta binatang yang dagingnya haram dan bangkai, hukumnya sama dengan hukum darah haid. Bahkan dalil-dalil tentang hukum hal-hal tadi selain darah nifas dan istihadhah, cukup kuat

Tempat Shalat 
Tempat dahi ketika sujud tidak boleh lebih tinggi melebihi empat jari rapat dari tempat duduk (lutut) dan tempat ujung jari kaki.
Diantara tempat berdirinya orang laki-laki dan perempuan berdasarkan ihtiyat wajib haruslah ada jarak minimalnya satu jengkal. Jika demikian, maka hukum shalat keduanya sah baik keduanya sejajar atau si perempuan berada lebih ke depan dari pria.
Melaksanakan shalat wajib di dalam Ka’bah hukumnya makruh. Dan berdasarkan ihtiyat wajib hendaknya dihindari melakukan shalat di atas atap Ka’bah. 
Pelaku shalat hendaknya tidak melakukan shalat dengan membelakangi pusara suci Nabi ataupun Imam. Namun sejajar dengan pusara mereka tidak apa-apa.

Hukum Mesjid 
1. Mesjid yang dimiliki dengan tidak benar (ghashab), lalu hancur atau ditinggalkan begitu saja, jika di tempat tersebut didirikan bangunan lainnya atau karena telah ditinggalkan sehingga tidak lagi bisa disebut mesjid dan tidak ada harapan untuk dibangun kembali, karena di daerah tersebut tidak ada lagi yang menghuni, misalnya, maka tentang keharaman menajiskan tempat tersebut tidak jelas hukumnya, walaupun hendaknya berihtiyat (sunnah) untuk tidak menajiskannya.
2. Menghiasi mesjid dengan emas jika sampai pada kategori Israf  (berlebihan dan membuang-buang uang untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, Pent.) maka hukumnya haram, jika tidak demikian maka hukumnya makruh. 

CATATAN:
  1. Para mukallid Ayatollah Al-Udhma Khamenei bisa melaksanakan fatwa beliau dengan memperhatikan perbedaan yang ada. Jika masih ada yang tidak jelas bisa menyampaikan pertanyaan guna memperjelas hal itu.
  2. Dalam sebagian kasus, tidak terdapat perbedaan, tetapi yang ada adalah penjelasan atau penambahan keterangan.
  3. Fatwa Imam Khomeini diambil dari kitab Tahrir Al Wasilah, Taudhih Al Masail dan Al ‘Urwatul Wutsqa.
  4. Untuk mempersingkat pembahasan kami sengaja tidak mencantumkan referensi fatwa, bagi yang menginginkannya bisa merujuk ke edisi cetak yang telah diterbitkan.

 Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More