Oleh Sayyid Eja Assegaf
Hari Teragung dalam Al-Quran
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَ اخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَ رَضِيتُ لَكُمُ الإِْسْلامَ دِيناً
Artinya:"Hari ini orang-orang kafir berputus asa dari agama kalian, oleh karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, dan takutlah kalian kepada-Ku, hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku rampungkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku rela Islam sebagai agama." (Surah Al-Maidah, ayat 3).
Pembahasan Ayat
Dalam ayat ini telah disebutkan sebuah hari yang begitu besar dan begitu agung yang menjadi kekuatan bagi kaum muslimin. Sebuah hari di mana keputusasaan para musuh-musuh Islam, penyempurnaan agama, rampungnya nikmat-nikmat ilahi serta kerelaan merupakan kado dari Allah Swt.
Sekarang satu hal yang harus dijawab adalah apakah hari akbar tersebut? Insya Allah, dalam pembahasan mendatang jawaban dari soal ini akan jelas.
Penjelasan dan Tafsir
Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa dari agama kalian. Kendati musuh-musuh Islam dan orang-orang kafir yang keras kepala sudah mengalami kekalahan-kekalahan yang bertubi-tubi semenjak diutusnya nabi Saw hingga detik-detik akhir kehidupan beliau, baik melalui konspirasi atau peperangan mereka tetap berharap untuk dapat melenyapkan ajaran Islam pada masa yang akan datang; akan tetapi setelah turunnya ayat yang telah kita sebutkan tadi para musuh Islam bukan hanya mengalami kekalahan baru akan tetapi mereka kehilangan harapan untuk masa yang akan datang.
Oleh karena itu, orang-orang kafir untuk selamanya akan berputus asa untuk dapat melenyapkan dan menghilangkan agamamu dari dunia.
فلا تخشوهم و اخشوني dengan bantuan dan kemenangan besar ini yang terjadi pada hari ini maka janganlah kalian takut kepada mereka, karena mereka sudah tidak bisa memberikan ancaman, akan tetapi takutlah kalian untuk menentang perintah-perintah ilahi; karena pada kondisi inilah bahaya asli dari pada hawa nafsu itu berasal dari Allah Swt.
Dalam hari yang sangat agung dan sangat penting ini agamamu telah sempurna dan nikmat-nikmat ilahi bagi kalian kaum muslimin telah rampung.
Keagungan dan kebesaran hari-hari dan kejadian di dalamnya begitu besar dan begitu bermakna sehingga Allah Swt menjadikan Islam sebagai agama yang terus menerus.
Apakah Hari Itu?
Sebuah hari yang dijelaskan oleh ayat di atas memiliki empat ciri penting;
1) Hari yang menjadi kaum kafir berputus asa.
2) Sebuah hari yang menjadi menyempurnanya agama.
3) Sebuah hari di mana Allah telah menyempurnakan nikmatnya kepada kaum muslimin.
4)Sebuah hari di mana Allah rela agama Islam menjadi agama abadi bagi umat manusia.
Dengan empat ciri khusus di atas, apakah itu sebenarnya? Untuk sampai pada jawaban pertanyaan dia atas kita bisa menempuh dua metode.
Metode pertama: merenungkan dan mendalami ayat tersebut dan mengkaji tentangnya, dengan tanpa melihat riwayat dan hadis-hadis yang menjelaskan ayat tersebut juga tanpa merujuk kepada ungkapan para ahli tafsir, muhadis, cendekiawan dan berbagai bukti-bukti lainnya. Metode kedua, menafsirkan ayat dengan menggunakan riwayat-riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut ditambah dengan pendapat-pendapat dan keyakinan para mufassir.
Metode pertama: menafsirkan ayat dengan tanpa memperhatikan bukti-bukti di luar ayat
Dengan peristiwa apakah ayat mulia tersebut dapat kita terapkan? Untuk menjawab pertanyaan ini Fakhru-Razi memberikan dua pendapat, sedang Marhum Thabrisi menambahkan satu pendapat lagi. Dengan meminta pertolongan Allah Swt dan dengan berlandaskan akal, logika, menjauhi fanatisme dan berbagai perasaan semoga kita bisa memaparkan pembahasan ini secara ilmiah dan menjauhi hal yang meretakkan kesatuan kaum muslimin. Tiga pendapat tersebut adalah:
Pertama: Salah satu dari pendapat yang dibawakan oleh Fakhru-Razi adalah kata Yaum dalam ayat ini tidak memiliki arti yang sebenarnya, akan tetapi memiliki arti metafora. Dengan demikian arti yaum di sini berarti masa atau sebuah masa; bukan penggalan dari sebuah masa yang dimulai dari pagi hingga malam.
Sesuai pendapat ini, ayat ini tidak berkaitan dengan hari tertentu dan peristiwa khsusus, akan tetapi memberitahukan akan dimulainya masa keagungan Islam dan tibanya masa keputusasaan orang-orang kafir. Terlebih penggunaan kata yaum dengan arti metafora semacam ini merupakan tradisi masyarakat; sebagaimana dikatakan: kemarin saya muda, tapi sekarang saya sudah tua. Arti ungkapan ini adalah masa muda telah berlalu dan telah tiba masa tua, dan ini bukan berarti ingin mengatakan kemarin ia masih muda tapi sekarang (hari ini ) ia sudah tua.
Akan tetapi jawaban pendapat ini jelas dan gamblang; karena arti metafora membutuhkan bukti-bukti yang jelas. Entah Fakhru-Razi dengan bukti jelas mana dia membawakan dan mengatakan bahwa arti dari pada al-Yaum dalam surat ini memiliki arti metafora?
Pendapat kedua: yang dimaksud dari al-Yaum yang berarti hari ini dalam surah ini memiliki arti hakiki dan sebuah hari yang sudah diketahui hari tersebut adalah hari Arafah, tahun 8 bulan Dzulhijjah. Hari Arafah yang terjadi pada peristiwa Hajjatul-wada’ haji perpisahan / terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah Saw pada tahun kesepuluh hijriah.
Pendapat ini juga tidak begitu memuaskan, karena apakah yang membedakan hari Arafah pada tahun kesepuluh hijriah dengan hari Arafah pada tahun kesembilan dan kedelapan?! Jika sebuah peristiwa tidak terjadi di sana, maka bagaimana mungkin hari ini dianggap sebagai hari yang sangat besar dan agung?! Al-hasil pendapat ini juga tidak bisa kita terima karena sulit dicerna dan dibayangkan. Hasilnya dua pendapat yang dipaparkan oleh Fakhru-Razi ini tidak menyingkap misteri besar yang terdapat dalam ayat ini.
Pendapat ketiga: Marhum Thabrisi, salah seorang mufasir ternama kalangan Syi’ah, setelah menukil dan menolak dua pendapat Fakhru-Razi, beliau menukil penafsiran Ahlul Bait a.s. tentang ayat tersebut yang diterima oleh semua para mufasir Syi’ah juga ulama dan cendekiawan mereka.
Pengikut pendapat ini berkeyakinan maksud dari hari yang sangat agung yang membuat orang-orang kafir berputus asa dan menjadi sebab kerelaan Allah Swt serta menjadi sebab kesempurnaan agama dan nikmat-Nya adalah hari kedelapan belas dari bulan Dzul hijjah tahun kesepuluh hijriah, yang tak lain adalah hari raya Ghadir; sebuah hari di mana Rasulullah Saw dengan titah Allah Swt secara resmi melantik Ali bin Abi Thalib a.s. sebagai Wali dan Khalifah setelah beliau di hadapan kaum muslimin.
Soal: apakah pendapat ini sesuai dengan kandungan ayat yang mulai itu?
Jawab: jika kita melihat dengan penglihatan yang sportif dan tanpa praduga sebelumnya, kita akan mendapati bahwa ayat ini secara utuh sesuai dan berkaitan dengan peristiwa Ghadir, karena:
Pertama: musuh-musuh Islam setelah tidak mampu melenyapkan Islam melalui peperangan-peperangan, ancaman-ancaman dan konspirasi-konspirasi yang mereka lakukan, mereka tetap berharap pada satu hal yaitu Rasulullah Saw akan meninggal dunia dan setelah kepergiannya - terlebih setelah mereka mengetahui bahwa beliau tidak memiliki seorang putra yang akan menjadi penggantinya juga sampai detik itu beliau tidak menentukan penggantinya secara resmi - mereka bisa memiliki harapan untuk menghancurkan dan merusak Islam, akan tetapi setelah mereka melihat Rasulullah Saw pada hari itu tanggal delapan belas Dzulhijjah tahun sepuluh Hijriah, di Padang sahara Ghadir Khum dan di tengah-tengah khalayak yang begitu besar dan tiada tandingnya beliau melantik orang yang paling pintar, paling kuat, paling paham dan sosok paling piawai dalam dunia Islam maka harapan-harapan mereka tak lebih dari isapan jempol belaka dan satu-satunya harapan mereka untuk menghancurkan Islam menjadi sirna.
Kedua: dengan pelantikan imam Ali a.s. kenabian tidak terputus di tengah jalan, akan tetapi risalah ini tetap berlanjut untuk menyempurna, karena pada dasarnya, Imamah merupakan penyempurna kenabian dan hasilnya menjadi sebab kesempurnaan bagi agama; oleh karena itu Allah Swt memilih Ali a.s. sebagai khalifah kaum muslimin yang merupakan sebuah sosok besar yang paling alim dan paling pintar setelah pribadi agung Rasulullah Saw dan secara langsung menyempurnakan agama-Nya.
Ketiga: Nikmat-nikmat Allah Swt menjadi sempurna setelah pelantikan kepemimpinan Rasulullah Saw.
Keempat: Tanpa diragukan lagi, agama Islam tanpa Imamah dan kepemimpinan tidak akan bisa menjadi sebuah agama yang global, universal dan pamungkas. Agama terakhir hendaknya mampu menjawab segala keperluan manusia di setiap masa, hal ini sulit dibayangkan jika tidak ada seorang imam maksum yang hadir di setiap zaman.
Oleh karena itu, penafsiran ayat yang mulia tersebut dengan peristiwa Ghadir merupakan penafsiran yang bisa diterima; bahkan penafsiran ini merupakan satu-satunya penafsiran yang benar.
Apakah maksud dari penyempurnaan agama itu?
Dalam menafsirkan penggalan dari ayat di atas “hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian” telah terdapat tiga pendapat:
1) Yang dimaksud dari pada din dari ayat ini adalah undang-undang; artinya pada hari tersebut undang-undang Islam telah sempurna dan setelahnya Islam tidak memiliki kekurangan sedikitpun dalam undang-undangnya.
Untuk menjawab pertanyaan ini bisa kita tanyakan kepadanya: Peristiwa apakah yang terjadi pada hari tersebut atau undang-undang apakah yang telah turun pada hari itu yang membuat undang-undang ilahi menjadi sempurna? (Jawaban dari pertanyaan ini merupakan poin penting dan penjelas dari pada ayat ini).
2) Sebagian kelompok meyakini bahwa maksud dari pada din dari ayat di atas adalah haji; dengan arti pada hari yang khusus dan agung tersebut Allah telah menyempurnakan haji kalian.
Akan tetapi apakah benar din dalam bahasa bermakna haji? Atau din merupakan sekumpulan dari keyakinan-keyakinan dan amal perbuatan di mana haji salah satu dari bagian amal-amal tersebut?
Jelas kemungkinan kedua itu yang benar yang dengan demikian penafsiran agama dengan haji merupakan penafsiran yang tak berdasar.
3)Terwujudnya kandungan ayat dan penyempurnaan agama serta perampungan nikmat itu disebabkan karena Allah Swt pada hari tersebut telah memenangkan kaum muslim terhadap musuh-musuhnya dan membebaskan mereka dari kejelekan mereka.
Akan tetapi apakah pendapat ini benar?! Musuh manakah yang telah dikalahkan dan berputus asa? Kaum Musyrik dari bangsa Arab pada tahun delapan hijriah telah memeluk agama Islam saat peristiwa takluknya kota Mekkah (Fath Mekkah); orang-orang Yahudi di kota Madinah, Khaibar, kabilah Bani Quraidhah, Bani Qainuqo’ dan Bani Nadzir beberapa tahun sebelumnya telah mengalami kekalahan di perang Khaibar dan Ahzab mereka telah menyerah kepada Islam atau mereka hijrah keluar dari pemerintahan Islam, orang-orang kristen juga dengan menandatangani surat perdamaian dengan kaum muslimin; oleh karena itu seluruh musuh-musuh Islam sebelum tahun kesepuluh hijriah telah menyerah kepada Islam.
Memang benar, bahaya kaum munafik yang merupakan musuh yang paling berbahaya bagi agama dan selalu menunggu masa-masa yang tepat sampai saat itu belum menyerah dan belum hilang. Akan tetapi, bagaimana mereka kalah dan berputus asa?
Lagi-lagi pertanyaan ini tak mendapat jawaban seperti pertanyaan-pertanyaan yang telah dipaparkan di atas ini pendapat pertama di mana para pengikut pendapat ini tidak bisa menjawabnya.
Akan tetapi penafsiran ulama-ulama Syi’ah (sebagaimana telah disebutkan) telah memberikan jawaban yang lengkap terhadap pertanyaan-pertanyaan ini dan telah memberikan kejelasan akan tafsiran ayat tersebut.
Ya, peristiwa Ghadir Khum dan masalah wilayah dan kepemimpinan Amirul Mukminin Ali a.s. merupakan penafsiran terbaik atau bahkan satu-satunya penafsiran yang benar terhadap ayat yang mulia ini; karena dengan peristiwa inilah rasa putus asa kaum munafikin itu tampak dan jelas.
Pengakuan Menarik dari Fakhru-Razi
Fakhru-Razi seorang mufasir terkenal dari kalangan Ahli unah mengatakan: para ahli sejarah dan ahli hadis telah mengatakan bahwa saat ayat ini turun kepada nabi Saw beliau tidak hidup lama kecuali 81 atau 82 hari (bahkan usia beliau tidak lebih dari tiga bulan) dan dalam masa waktu yang kurang dari tiga bulan ini tidak ada satupun hukum-hukum Islam yang bertambah begitu juga tidak ada hukum-hukum Islam yang berkurang atau dihapus[1] oleh hukum baru dan peletakan undang-undang telah selesai.[2]
Sesuai penuturan Fakhru-Razi ayat yang mulia di atas turun pada 81 atau 82 hari sebelum Kepergian Rasulullah Saw. Dengan mengacu pada perkataan ini bisa kita menebak bahwa kapan ayat ini turun. Untuk memperjelas poin ini perlu bagi kita untuk mengetahui sejarah wafatnya Rasulullah Saw. Ahli Sunah meyakini bahwa Rasulullah Saw lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal dan kebetulan juga pada tanggal yang sama yaitu pada tanggal 12 Rabiul awal beliau wafat.
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa pendapat ini juga didukung oleh sebagian ulama Syi’ah, salah satu di antara mereka adalah Marhum Kulaini (pengarang kitab al-Kafi) beliau meyakini bahwa hari wafat Rasulullah Saw pada hari kedua belas bulan Rabiul Awal.[3] Kendati hari kelahiran Rasulullah Saw sesuai masyhur ulama Syi’ah adalah tanggal 17 Rabiul Awal. Oleh karena itu kita harus menghitung mundur 81 atau 82 hari tersebut. Dan mengingat tiga bulan berturut-turut itu tidak akan bisa tiga puluh hari sebagaimana juga tidak bisa dua puluh sembilan hari maka kita harus menghitung dua bulan itu tiga puluh hari dan satu bulannya dua puluh sembilan hari atau dua bulannya sebanyak dua puluh sembilan hari sedang satu bulannya tiga puluh hari.
Jika dua bulan Safar dan Muharam kita hitung dua puluh sembilan hari maka semuanya berjumlah lima puluh delapan hari yang dengan menambah dua belas hari bulan Rabiaul Awal akan menjadi Tujuh puluh hari dan mengingat bulan Dzul Hijjah tiga puluh hari kita hitung maka dua belas hari ke belakang akan menjadi 82 hari dengan mengurangi dua belas hari bulan Dzul Hijjah maka kita akan sampai kepada tanggal delapan belas dari bulan ini yang merupakan hari raya Ghadir. Berdasarkan perhitungan ini yang sesuai dengan pendapat ulama Ahli Sunah ayat yang mulia di atas berkenaan dengan Ghadir bukan hari Arafah jika 81 hari kita jadikan standar maka sesuai dengan hari sebelum hari Ghadir Khum dan sangat jauh dengan hari Arafah dan tidak ada kesesuaian sama sekali. Dan jika bulan Safar dan Muharam kita anggap tiga puluh hari sedang bulan Dzul hijjahnya dua puluh sembilan hari, maka sesuai pendapat 82 hari maka 19 Dzul Hijah itu yang benar dan sesuai 81 hari tanggal 20 Dzul Hijjah merupakan waktu turunnya ayat ini, artinya ayat mulia ini satu atau dua hari turun setelah peristiwa Ghadir dan pelantikan Amirul Mukminin Ali a.s. sebagai seorang wali dan menjelaskan peristiwa sejarah yang penting tersebut juga lagi-lagi tidak memiliki hubungan dengan hari Arafah sama sekali!
Konklusinya adalah bukti-bukti yang beragam telah menunjukkan bahwa ayat yang mulia itu turun berkaitan dengan wilayah dan Khilafah Amirul Mukminin Ali a.s.
Soal: Permulaan ayat ketiga dari surah Al-Maidah berkaitan dengan daging-daging yang diharamkan[4] sedang pada akhir ayat ini berbicara tentang keterdesakan dan hukumnya[5] dan di tengah-tengah dua poin tersebut ditegaskan wilayah dan kepemimpinan. Lalu apakah keserasian antara masalah wilayah dan Imamah serta kepemimpinan selepas Rasulullah dengan masalah daging-daging haram dan hukum orang yang terdesak? Apakah ini tidak bisa menjadi bukti bahwa ungkapan dari ayat tersebut itu tidak berkaitan sama sekali dengan wilayah tapi berkaitan dengan masalah yang lain?
Jawab: ayat-ayat al-Quran Karim tidak disusun sebagaimana sebuah buku klasik, akan tetapi Quran dicatat dan disusun sesuai urutan turunnya (kadang kala dengan perubahan dan perpindahan) sesuai perintah Rasulullah Saw. Oleh karena itu bisa jadi permulaan ayat di atas berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi berkenaan dengan daging-daging yang diharamkan sebelum terjadinya peristiwa Ghadir dan setelah sesaat terjadinya peristiwa Ghadir para penulis wahyu menulisnya dengan diakhiri dengan hukum daging-daging yang diharamkan. Kemudian masalah terdesak atau personifikasi dari hal-hal tersebut telah terjadi dan hukum-hukumnya sedang akhir dari pada ayat tersebut memuat hukum orang yang terdesak sebagai lanjutan dari bagian tengah ayat tersebut. Oleh karena itu dengan merujuk kepada poin di atas maka tidak lazim ayat-ayat itu memiliki keserasian khusus satu sama lain.
Memperhatikan poin ini dapat menuntaskan berbagai Syubhat dan isykalan-isykalan yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran karim.
Pertanyaan lain: Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa ayat ketiga dari surat al-Maidah merupakan ayat terakhir yang turun kepada Rasulullah Saw dan dengan diturunkannya ayat ini agama menjadi sempurna juga kumpulan undang-undang yang lazim secara utuh telah turun kepada beliau jika memang demikian kenapa setelah ayat ini atau di penghujung ayat ini dijelaskan hukum kondisi terdesak? Jika ayat penyempurnaan agama ini menjadi akhir ayat yang turun dan mengkhabarkan akan kesempurnaan agama dan undang-undangnya, lalu kenapa undang-undang baru ini turun setelah khabar tersebut?
Jawab: Isykalan ini bisa dijawab dengan dua bentuk:
Jawaban pertama: Berkenaan dengan kondisi terbesar seperti dalam musim kemarau atau kelaparan yang berada di akhir pembahasan ayat ini bukanlah hukum baru; akan tetapi ia merupakan hukum ta’kidi (penekanan). Karena hukum ini telah turun sebelum ayat ini dan telah disebutkan di tiga ayat yang lain:
a. Dalam ayat 145 surat al-An’am yang tanpa diragukan termasuk surat Makkiyah kita mendapati: “katakanlah: aku tidak mendapatkan di dalam wahyu yang telah diturunkan kepadaku tidak ada makanan haram yang aku temukan kecuali bangkai atau darah (yang berasal dari badan binatang) keluar atau daging babi di mana itu merupakan sebuah kotoran, atau binatang yang berdosa di mana saat disembelih di nama arca-arca selain Allah itu disebutkan. Sedang orang yang terpaksa atau terdesak untuk memakan hal-hal yang diharamkan ini dengan tanpa ingin menikmatinya atau tidak melampaui batas ( maka dia tidak berdosa); karena Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang” . sebagaimana anda perhatikan dalam ayat yang mulia ini yang turun di Mekkah karena beliau belum hijrah ke Madinah sudah turun kepada nabi di mana telah disebutkan hukum Idthirar.
b. Dalam ayat 115 surat an-Nahl di mana sebahagiannya turun di Mekkah dan sebahagiannya lagi turun di Madinah disebutkan: “sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada kalian bangkai, dara, daging babi, dan apa-apa yang disembelih tanpa menyebut nama Allah maka barang siapa yang terdesak untuk memakannya yang dia tidak melampaui batas kewajaran maka sesungguhnya Allah memberikan ampunan kepadanya karena sesungguhnya Allah maha pengasih lagi maha penyayang.” Dalam ayat mulia tadi yang turun sebelum ayat yang kita bahas yaitu ayat Ikmal hukum idthirar juga telah disebutkan.
c. Dalam ayat173 surat al-Baqarah di mana turun pada permulaan hijrah di kota Madinah, hukum idthirar juga telah disebutkan; dan mengingat ayat ini serupa dengan ayat sebelumnya (Walaupun ada perbedaan tapi perbedaan itu terlampau sedikit) maka kami rasa tidak perlu untuk mengulangnya kembali.
Konklusinya adalah hukum idthirar sudah dibahas dalam tiga ayat al-Quran sebelum ayat ini,[6] oleh karena itu dalam ayat ini tidak dalam rangka menyebutkan hukum baru serta tidak bertentangan dengan ayat Ikmaluddin oleh karena itu setelah ayat Ikmaluddin tidak ada undang-undang baru yang turun kepada Rasulullah Saw.
Jawaban kedua: ayat-ayat al-Quran Karim dikumpulkan atau disusun bukan sesuai turunnya ayat akan tetapi sesuai dengan perintah atau petunjuk nabi Saw dengan metode khusus, sebagai contoh ayat 67 surat al-Maidah yang berbunyi: “wahai Rasulullah sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari tuhanmu...”, secara yakin itu turun sebelum ayat yang kita bahas ini (ayat ketiga surat Maidah) akan tetapi saat penyusunan ayat itu diletakkan setelah ayat ini; oleh karena itu tidak apa-apa jika hukum idthiror ini yang jelas turun sebelum ayat Ikmaluddin itu ditulis dan dicatat setelah ayat ini.
Metode kedua: Menafsirkan Ayat Dengan Berdasarkan Riwayat-riwayat
Hadis-hadis dan riwayat yang menjadi kondisi turunnya ayat tersebut begitu banyak. Marhum Allamah Amini ra dalam kitabnya yang begitu berharga dan tiada bandingnya yaitu al-Ghadir[7] secara panjang lebar membahas peristiwa Ghadir. Beliau telah menukil dalam kitabnya 110 orang sahabat juga 80 tabiin[8]; penulis kitab al-Ghadir menukil peristiwa besar dan tiada tandingnya dari 360 kitab yang berbeda-beda; kitab-kitab yang sebagian darinya berasal dari kalangan Ahli Sunah dan sebagian yang lain berasal dari kalangan Syi’ah. Adapun poin yang perlu diperhatikan adalah seluruh riwayat-riwayat yang berkaitan dengan peristiwa akbar al-Ghadir tidak berkaitan dengan pembahasan kita sekarang, akan tetapi riwayat-riwayat yang berkenaan dengan turunnya ayat yang mulia ini yang berkaitan dengan pembahasan kita dan kebetulan jumlah riwayat ini juga tidak sedikit Muhaqqiq Allamah Hilli dalam kitabnya menyebutkan 16 riwayat yang dinukil berkenaan dengan hal ini[9]
Riwayat-riwayat tersebut demikian:
1. Suyuti, salah satu ulama terkenal Ahli Sunah yang hidup di Mesir dan mendapat tempat yang terhormat di kalangan Ahli Sunah telah menyebutkan dan menukil sebuah riwayat:
Abu Said al-Hudri mengatakan: saat Rasulullah Saw melantik Ali a.s. di hari Ghadir Khum sebagai pengganti setelahnya dan mengumumkan wilayahnya kepada kaum mukminin, Jibril turun dan membawa ayat ini kepada beliau.[10] Sesuai riwayat ini yang dinukil dari Ahli sunah, maka maksud dari kata al-yaum adalah hari Ghadir Khum dan ayat yang sedang dibahas berkenaan dengan wilayah dan kepemimpinan Ali as.
2. Ulama Ahli Sunah tersebut juga meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah, seorang perawi yang diterima dan dihormati oleh kalangan Ahli Sunah . sesuai dengan riwayat ini Abu Hurairah mengatakan: ketika hari Ghadir Khum tiba yaitu hari ke delapan belas Dzul Hijjah, Rasulullah Saw bersabda: barang siapa aku maulanya maka ini Ali sebagai maulanya (juga), maka Allah SWT menurunkan ayat:[11] Riwayat ini juga dengan jelas dan tegas menunjukkan pada apa yang telah kita tekankan dan kita bahas.
3. Khatib Bagdadi salah satu ulama lain dari Ahli Sunah yang hidup di abad kelima hijriah[12] dalam kitabnya Tarikh Baghdad dengan menukil riwayat dari Abu Hurairah disebutkan: Rasulullah Saw bersabda: Barang siapa berpuasa di hari kedelapan belas dari bulan Dzul Hijjah maka dicatat baginya (pahala puasa 60 bulan) hari itu adalah hari Ghadir Khum saat Rasulullah Saw mengangkat tangan Ali Bin Abi Thalib a.s kemudian beliau bersabda: Tidakkah aku wali kaum mukminin? Semua menjawab: ya benar wahai utusan Allah, Rasulullah Saw kemudian bersabda: barangsiapa aku maulanya maka Ali adalah maulanya (juga). Kemudian Umar bin Khattab berkata: Selamat bagimu wahai putra Abi Thalib kamu telah menjadi maulaku dan maula setiap mukmin dan mukminah, kemudian Allah SWT menurunkan ayat[13]
4. Hakim Haskani, di mana dia termasuk ulama Ahli Sunah yang hidup di abad kelima juga meriwayatkan beberapa riwayat yang gamblang dan jelas dalam hal ini, tapi untuk meringkas kami tidak perlu menyebutkan riwayat-riwayat yang dinukil di kitabnya.[14]
Hafidz Abu Naim Isfahani dalam kitab “Ma Nuzzila minal Quran fi Ali a.s.” (ayat-ayat yang berkenaan dengan Ali a.s.) menukil dari seorang sahabat terkenal Rasulullah Saw, Abu Said al-Hudri di mana Rasulullah Saw telah melantik dan mengumumkan kepada ummat manusia bahwa Ali a.s. Wali dan khalifah mereka khalayak belum berpisah satu sama lain di mana ayat Ikmal.[15] turun, pada saat itu Rasulullah Saw bersabda: Allahu Akbar atas penyempurnaan agama, perampungan nikmat, kerelaan tuhan atas risalahku dan kepemimpinan Ali setelahku. Kemudian beliau bersabda: barang siapa aku maula baginya maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah lindungilah atau cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan hinakanlah orang yang menghinanya.[16] Konklusinya adalah dari riwayat-riwayat yang telah disebutkan dan riwayat-riwayat lain yang begitu banyak yang tidak dapat kira sebutkan semua untuk menyingkat pembahasan secara gamblang dan jelas dapat dipahami bahwa ayat Ikmaluddin yang mulia ini turun berkaitan dengan peristiwa akbar al-Ghadir dan menjadi bukti jelas yang jelas juga lugas terhadap kepemimpinan, wilayah dan khilafah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.
Ungkapan menarik dari Alusi
Kendati banyak bukti-bukti yang gamblang dalam ayat mulia tersebut sebagaimana telah lewat pembahasannya dan riwayat-riwayat yang begitu banyak yang telah dinukil baik dari kalangan Syi’ah dan kalangan Ahli Sunah sebagian kalangan atas dasar fanatik dan keras kepala masih tetap menafsirkan ayat mulia tersebut sesuai dengan kemauannya sendiri dan keluar dari pembahasan logis. Salah satu dari mereka adalah Alusi seorang Mufassir kenamaan Ahli Sunah penulis tafsir terkenal Ruhul-Ma’ani. Saat menjelaskan dan menafsirkan ayat ke-67 surat al-Maidah ketika sampai pada peristiwa Ghadir dia mengatakan: Ibnu Jarir at-Thabari salah seorang ahli sejarah terkenal Ahli Sunah telah menulis dua jilid kitab berkenaan dengan riwayat-riwayat al-Ghadir, kemudian (tanpa membahas dan memeriksa riwayat-riwayat yang ada dalam kitab tersebut) dia berkata: Dalam dua kitab tersebut hadis-hadis yang sahih dan yang dhaif telah di campur aduk ! Kemudian dia menukil dari Ibnu Asakir di mana dia banyak sekali menukil tentang hadis berkenaan dengan khutbah dan peristiwa al-Ghadir, akan tetapi kami hanya menerima hadis-hadis yang tidak berbicara tentang khilafah dan kepemimpinan Ali a.s.[17]
Ungkapan semacam ini sungguh telah membuat heran setiap orang yang sportif.
Apakah kita bisa menolak seluruh isi kitab tersebut dengan dalil di dalamnya terdapat hadis-hadis yang dhaif dan tidak bisa diterima?
Apakah dalam kitab-kitab standar Ahli Sunah tidak terdapat hadis-hadis dhaif?
Apakah dengan dalil ini kalian tidak akan menyentuh kitab-kitab seperti ini?
Jelas ungkapan semacam ini sangat lucu dan perlu ditertawakan. Akan tetapi ungkapan yang lebih parah dari ini, ungkapan yang berkaitan dengan riwayat Ibn Asakir. Di mana ungkapan tersebut merupakan puncak kecongkakan dan permusuhannya dengan kebenaran dan hakikat Ahlul Bait a.s. Di belahan bumi mana ungkapan ini bisa diterima di mana seseorang berkata: apa yang sesuai dengan keinginan dengan hawa nafsu saya akan saya terima sedang yang tidak sesuai tidak akan saya terima!
Apakah ungkapan semacam ini bisa diterima dari seorang biasa..?
Dari seorang ulama seperti Alusi, bagaimana mungkin?!
Para pembaca yang budiman! Mungkin dengan keheranan yang luar biasa kita bertanya pada diri kita sendiri bagaimana mungkin seorang sosok besar seperti Alusi melontarkan ungkapan-ungkapan yang tidak berdasar? Akan tetapi untuk menjawab pertanyaan tadi perlu disampaikan: setiap orang yang ingin memutuskan sesuatu dan menganggap dirinya dan tidak menjaga dirinya untuk cepat-cepat menghukumi pasti dia akan terjerembab pada nasib yang sama!
Pesan-pesan Ayat
1. Wilayah yang membuat putus asa para musuh, jika kalian ingin para musuh kalian berputus asa di setiap masa maka berpegang teguhlah kepada wilayah dan hidupkanlah ia; karena sebagaimana pada hari tersebut pemaparan wilayah membuat para musuh membuat putus asa, pada masa sekarang pun menghidupkan kembali dan berpegang teguh kepadanya menjadi sebab keputusasaan para munafik dan musuh-musuh. Masa sekarang ini, hendaknya semua menuju dan mengarah kepada imam yang gaib dari pandangan namun hadir dalam kalbu dan pikiran yaitu imam zaman, Imam Mahdi a.s. Dan hendaknya kita melangkah di bawah naungannya; karena wilayah beliau merupakan pemersatu kaum Syi’ah dengan berbagai latar belakang yang beragam. Oleh karena itu, hidupnya wilayah merupakan tiupan angin segar, satu dan kesatuan dan kesamaan langkah. Ini merupakan awal dari kebahagiaan dan harapan sebagaimana perbedaan dan perpecahan sumber malapetaka dan kemunduran.
Jika semua negara-negara Islam yang terpecah belah mengamalkan salah satu dasar yang pokok ini dan merangkul satu sama lain dan bersatu, maka kisah memilukan Palestina tidak akan terulang lagi, dan para muslim yang tertindas tidak akan memuji-muji bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu satu-satunya jalan yang dapat membuat orang kafir berputus asa adalah berpegang teguh kepada tali wilayah.
2. kesempurnaan agama dan rampungnya nikmat berada di bawah naungan wilayah
sebagaimana d pahami dari ayat tadi, penyempurnaan agama dan rampungnya kenikmatan terwujud karena wilayah; masa sekarangpun turunnya nikmat-nikmat baik materi maupun maknawi serta kesempurnaan agama dalam berbagai sisi-sisinya akibat wilayah. Tanpa wilayah kendati agama dipraktekkan amal-amal ibadah dilaksanakan, namun tanpa diragukan lagi semua itu tidak akan diterima di sisi Allah Swt; oleh karena itu kesempurnaan nikmat dan agama di setiap masa bergantung kepada konsekuensi kita terhadap tali wilayah dalam tataran praktis.
Pembahasan tambahan
1. Wilayah merupakan permasalahan paling pokok dalam Islam
Berkenaan dengan pentingnya wilayah begitu banyak riwayat yang menjelaskan hal tersebut; salah satu contoh yang akan kita bawakan sebagai pelengkap pembahasan di atas berikut ini riwayat dari imam Muhammad Al-Bagir a.s.: Zurarah menukil dari beliau: Islam dibangun atas lima hal; salat, zakat, puasa, haji, dan wilayah. Kemudian Zurarah bertanya: Manakah di antara kelima hal tersebut yang paling mulia?beliau menjawab: Wilayah yang paling utama karena wilayah kunci dari segalanya sedang wali atau imam merupakan pembimbing manusia terhadapnya.[18]
Dua poin yang perlu dicermati dari riwayat tersebut:
a) kelima hal maha penting itu bukan asal-asalan (begitu saja) digandengkan satu sama lain, akan tetapi kelimanya memiliki hubungan erat satu dengan lainnya.
Salat merupakan hubungan hamba dengan penciptanya, bahkan masa terbaik untuk hubungan antara makhluk dengan khaliknya adalah waktu salat.
Zakat merupakan hubungan antara makhluk dengan sesamanya; orang yang membutuhkan, dengan pelaksanaan undang-undang zakat yang dilakukan oleh orang-orang kaya akan lenyap dari mereka masalah-masalah ekonomi yang mereka hadapi.
Puasa merupakan hubungan manusia dengan dirinya sendiri; dengan menciptakan hubungan ini manusia dapat menaklukkan dan melawan hawa nafsunya; bahkan puasa merupakan simbol melawan hawa nafsu.
Haji merupakan hubungan sekelompok kaum muslimin dengan kelompok yang lain di mana dengan kesatuan pikiran dan tukar-menukar pendapat problematika dunia Islam dapat ditangani.
Sedang wilayah merupakan penjamin terlaksananya hal-hal tersebut dengan benar dan penjelas hukum-hukum dari masalah itu.
Oleh karena itu empat asa di atas bukan secara kebetulan disebutkan bersamaan dalam riwayat ini akan tetapi mereka memiliki hubungan logis satu sama lain.
(b) Lalu kenapa wilayah lebih penting dan utama dari empat asas yang pertama?
Sebagaimana di dalam riwayat juga disebutkan, wilayah merupakan penjamin terwujudnya salat, puasa, haji dan zakat dan kandungan ibadah-ibadah ini, bahkan seluruh ibadah-ibadah yang lain dapat dilaksanakan (secara benar) di bawah naungan wilayah; artinya tanpa wilayah dan kepemimpinan Islam undang-undang ini tak lebih dari hitam di atas putih saja, dan seperti resep seorang dokter yang jika tidak diamalkan kesembuhan akan sulit didapatkan.
Wilayah berarti pelaksanaan undang-undang Islam oleh para imam maksum dan para pengganti mereka; oleh karena itu pemerintahan wilayah dari salat, puasa, haji dan zakat itu lebih tinggi yang hasilnya adalah pemerintahan Islam; sebuah wilayah yang bersumber dari wilayah Amirul Mukminin Ali a.s. di Ghadir khum:
1) Wilayah Memiliki Dua Arah
Wilayah sesuai penafsiran tadi memiliki dua arah:
Satu sisi wali dan pemimpin di mana dia memberi petunjuk kepada umat manusia, menjelaskan pembahasan-pembahasan yang perlu disampaikan, memberikan kewaspadaan kepada kaum muslimin di hadapan bahaya-bahaya, menciptakan ketertiban dan keteraturan, memberikan hak-hak orang-orang yang tertindas, menerapkan hukum-hukum ilahi dan menegakkan amar makruf dan nahi anil munkar.
Sedang sisi lainnya adalah umat manusia di mana mereka harus berusaha untuk mengatur langkah mereka sesuai dengan ucapan, tindakan, keyakinan dan pemikiran para imam, karena tidak bisa dikatakan mereka pengikut garis wilayah namun membiarkan dirinya melakukan pelanggaran dan penyimpangan.
Hal yang menarik adalah pada satu ketika ketua Savak dalam salah satu interogasinya berkata kepada saya (penulis): kecintaan terhadap a.s. Ali dan wilayahnya tetap berada di hatiku akan tetapi jika orang-orang bangkit menentang Syah, maka aku rela untuk membinasakan satu juta orang dari mereka! Apakah tindakan dan pemikiran semacam ini sesuai dengan wilayah? atau wilayah semacam ini adalah wilayah gombal belaka?
Ya, wilayah adalah menyesuaikan seluruh amal perbuatan, ucapan dan pikiran atas keyakinan, ucapan dan tindakan para maksumin a.s.
Catatan Kaki:
[1] Hari-hari ini telah mendapat serangan yang bertubi-tubi dari orang-orang yang tidak memiliki kesadaran; salah satu dari serangan mereka adalah Islam seharusnya tidak terbatas dengan apa yang dimiliki sekarang bahkan Islam harus menambahkan pemikiran dan poin-poin lain kepada undang-undang dan aturan-aturannya, dan jika Rasulullah Saw lebih lama lagi hidup maka undang-undang lain dalam bentuk wahyu akan turun kepada beliau; konklusinya adalah Islam adalah sebuah agama yang tidak sempurna dan harus disempurnakan!
Jawab: apa yang disampaikan oleh Fakhru-Razi tadi maka jawaban dari syubhah ini akan jelas; karena jika memang demikian maka seharusnya dalam masa waktu delapan puluh sekian hari di mana Rasulullah Saw masih hidup setelah turunnya ayat Ikmal ini seharusnya ayat dan undang-undang turun kepada beliau. Oleh karena itu mengingat dalam masa ini tidak ada undang-undang khusus yang turun maka kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa apa yang seharusnya bias disampaikan itu telah dilakukan dan jika nabi Saw hidup beberapa tahun lagi setelah itu tetap undang-undang islam tidak akan bertambah.
Di sini perlu kita sayangkan di mana bagaimana orang-orang yang tidak mengenal sumber-sumber keislaman yang tidak memiliki kesadaran dapat memberikan pendapat?! Kenapa di setiap tempat hanya orang-orang yang memiliki keahlian dan pengetahuan yang memberikan pendapat akan tetapi di dalam permasalahan agama kita melihat setiap orang berani memberikan pendapat dan ikut andil meramaikan perbedaan pendapat yang ada?!
[2] Tafsir Kabir, jilid 11, hal 139.
[3] Usul-Kafi, jilid ke-2, hal 323 (kitab al-Hujjah, bab-bab Tarikh, Bab Maulidin-nabi Saw)
[4] Permulaan ayat tersebut adalah: “Telah diharamkan kepada kalian bangkai, darah, daging babi, hewan-hewan yang disembelih dengan tanpa menyebut nama Allah, hewan-hewan yang tercekik,hewan-hewan yang terjatuh dari ketinggian dan hewan-hewan yang mati karena ditanduk hewan-hewan lain atau hewan-hewan sisa dari binatang-binatang yang suka berburu kecuali yang telah disembelih oleh kalian, juga hewan-hewan yang disembelih di atas arca-arca; dan begitu juga membagikan daging hewan dengan kayu-kayu panah yang khusus untuk mengundi nasib semua pekerjaan-pekerjaan ini adalah fasik dan berdosa.”
[5] Bagian akhir dari ayat yang sedang kita bahas itu adalah: “sedang mereka yang sedang terjepit dalam keadaan lapar dia tidak mampu mendapatkan bahan makanan dengan tanpa cenderung kepada dosa (maka tidak apa-apa dia memakan daging-daging yang telah dilarang) maka Allah Swt maha pengampun lagi maha penyayang”.
[6] Kandungan 4 ayat idthirar ini beliau memberikan Kewenangan terhadap umat manusia untuk memanfaatkan daging-daging yang telah dilarang untuk menjaga jiwa dan keselamatannya yang jelas penggunaan itu harus sesuai dengan keperluannya; yang jelas hukum ini pada zaman kita sangat sedikit kita jumpai akan tetapi dalam perjalanan-perjalanan ke luar negeri dan ke berbagai Negara yang penyembelihan binatang-binatang tidak dilakukan dengan syar’i itu dapat kita temukan; oleh karena itu mereka yang bepergian ke negara-negara tersebut mereka yang sama sekali dia tidak memakan daging atau bahan-bahan protein lain keselamatannya akan terganggu maka dengan dalil darurah dia dapat menggunakan dan memanfaatkan daging-daging tersebut seperlunya untuk menghilangkan bahaya yang mengancam. Perlu ditekankan lagi bahwasanya itu harus sesuai dengan kebutuhan dan darurat yang ada.
[7] Kendati dalam topik kitab al-Ghadir terdapat kitab-kitab lain seperti Tabaqatul-Anwar, al-murajaat, Ihhqaqol-Haq dan yang lainnya itu telah ditulis akan tetapi kitab-kitab yang kita sebutkan tadi tidak bida menyamai kitab al-Ghadir; karena Marhum Allamah Amini telah membahasnya dengan lebih mendalam dan lebih teratur.
[8] Perbedaan antara sahabat dan tabiin adalah sahabat orang yang bertemu dengan Rasul Saw dan hidup di zaman beliau sedang tabiin dia tidak sempat berziarah kepada rasul dan tidak hidup sezaman dengan beliau akan tetapi mereka hidup di zaman para sahabat beliau.
[9] Al-Ghadir filKitab was-Sunnat wal-Adab, jilid 1, hal 230.
[10] Ad-Durul-Mantsur, jilid ke-2, hal 259.
[11] Ad-Durul-Mantsur, jilid 2, hal 259..
[12] Pada abad kelima hijriah hadis al-Ghadir mendapat tempat dan perhatian, sehingga pada abad tersebut begitu banyak kitab-kitab yang ditulis tentangnya.
[13] Tarikh Baghdad, jilid 8, hal 290.
[14] Jelas puasa di hari ke delapan belas bulan Dzul Hijjah guna mensyukuri ditetapkannya wilayah memiliki fadilat yang besar dan setara dengan pahala puasa enam puluh bulan hal ini juga merupakan bukti lain akan peristiwa maha penting yang terjadi di Ghadir jika tidak sangat sulit dibayangkan pahala yang besar dijanjikan untuk hari tersebut.
[15] Syawahid-Tanzil, jilid pertama, hal 153
[16] Tafsir Nemuneh, jilid 4, hal 266.
[17] Ruhul-Ma’ni, jilid 6 ,hal 195.
[18] Usul-Kafi, jilid 3, hal 30, kitabul-Iman wal-Kufr, bab Da’aimul-Islam, hadis ke-5.
Sumber
Hari Teragung dalam Al-Quran
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ دِينِكُمْ فَلا تَخْشَوْهُمْ وَ اخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَ رَضِيتُ لَكُمُ الإِْسْلامَ دِيناً
Artinya:"Hari ini orang-orang kafir berputus asa dari agama kalian, oleh karena itu janganlah kalian takut kepada mereka, dan takutlah kalian kepada-Ku, hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Aku rampungkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku rela Islam sebagai agama." (Surah Al-Maidah, ayat 3).
Pembahasan Ayat
Dalam ayat ini telah disebutkan sebuah hari yang begitu besar dan begitu agung yang menjadi kekuatan bagi kaum muslimin. Sebuah hari di mana keputusasaan para musuh-musuh Islam, penyempurnaan agama, rampungnya nikmat-nikmat ilahi serta kerelaan merupakan kado dari Allah Swt.
Sekarang satu hal yang harus dijawab adalah apakah hari akbar tersebut? Insya Allah, dalam pembahasan mendatang jawaban dari soal ini akan jelas.
Penjelasan dan Tafsir
Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa dari agama kalian. Kendati musuh-musuh Islam dan orang-orang kafir yang keras kepala sudah mengalami kekalahan-kekalahan yang bertubi-tubi semenjak diutusnya nabi Saw hingga detik-detik akhir kehidupan beliau, baik melalui konspirasi atau peperangan mereka tetap berharap untuk dapat melenyapkan ajaran Islam pada masa yang akan datang; akan tetapi setelah turunnya ayat yang telah kita sebutkan tadi para musuh Islam bukan hanya mengalami kekalahan baru akan tetapi mereka kehilangan harapan untuk masa yang akan datang.
Oleh karena itu, orang-orang kafir untuk selamanya akan berputus asa untuk dapat melenyapkan dan menghilangkan agamamu dari dunia.
فلا تخشوهم و اخشوني dengan bantuan dan kemenangan besar ini yang terjadi pada hari ini maka janganlah kalian takut kepada mereka, karena mereka sudah tidak bisa memberikan ancaman, akan tetapi takutlah kalian untuk menentang perintah-perintah ilahi; karena pada kondisi inilah bahaya asli dari pada hawa nafsu itu berasal dari Allah Swt.
Dalam hari yang sangat agung dan sangat penting ini agamamu telah sempurna dan nikmat-nikmat ilahi bagi kalian kaum muslimin telah rampung.
Keagungan dan kebesaran hari-hari dan kejadian di dalamnya begitu besar dan begitu bermakna sehingga Allah Swt menjadikan Islam sebagai agama yang terus menerus.
Apakah Hari Itu?
Sebuah hari yang dijelaskan oleh ayat di atas memiliki empat ciri penting;
1) Hari yang menjadi kaum kafir berputus asa.
2) Sebuah hari yang menjadi menyempurnanya agama.
3) Sebuah hari di mana Allah telah menyempurnakan nikmatnya kepada kaum muslimin.
4)Sebuah hari di mana Allah rela agama Islam menjadi agama abadi bagi umat manusia.
Dengan empat ciri khusus di atas, apakah itu sebenarnya? Untuk sampai pada jawaban pertanyaan dia atas kita bisa menempuh dua metode.
Metode pertama: merenungkan dan mendalami ayat tersebut dan mengkaji tentangnya, dengan tanpa melihat riwayat dan hadis-hadis yang menjelaskan ayat tersebut juga tanpa merujuk kepada ungkapan para ahli tafsir, muhadis, cendekiawan dan berbagai bukti-bukti lainnya. Metode kedua, menafsirkan ayat dengan menggunakan riwayat-riwayat yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut ditambah dengan pendapat-pendapat dan keyakinan para mufassir.
Metode pertama: menafsirkan ayat dengan tanpa memperhatikan bukti-bukti di luar ayat
Dengan peristiwa apakah ayat mulia tersebut dapat kita terapkan? Untuk menjawab pertanyaan ini Fakhru-Razi memberikan dua pendapat, sedang Marhum Thabrisi menambahkan satu pendapat lagi. Dengan meminta pertolongan Allah Swt dan dengan berlandaskan akal, logika, menjauhi fanatisme dan berbagai perasaan semoga kita bisa memaparkan pembahasan ini secara ilmiah dan menjauhi hal yang meretakkan kesatuan kaum muslimin. Tiga pendapat tersebut adalah:
Pertama: Salah satu dari pendapat yang dibawakan oleh Fakhru-Razi adalah kata Yaum dalam ayat ini tidak memiliki arti yang sebenarnya, akan tetapi memiliki arti metafora. Dengan demikian arti yaum di sini berarti masa atau sebuah masa; bukan penggalan dari sebuah masa yang dimulai dari pagi hingga malam.
Sesuai pendapat ini, ayat ini tidak berkaitan dengan hari tertentu dan peristiwa khsusus, akan tetapi memberitahukan akan dimulainya masa keagungan Islam dan tibanya masa keputusasaan orang-orang kafir. Terlebih penggunaan kata yaum dengan arti metafora semacam ini merupakan tradisi masyarakat; sebagaimana dikatakan: kemarin saya muda, tapi sekarang saya sudah tua. Arti ungkapan ini adalah masa muda telah berlalu dan telah tiba masa tua, dan ini bukan berarti ingin mengatakan kemarin ia masih muda tapi sekarang (hari ini ) ia sudah tua.
Akan tetapi jawaban pendapat ini jelas dan gamblang; karena arti metafora membutuhkan bukti-bukti yang jelas. Entah Fakhru-Razi dengan bukti jelas mana dia membawakan dan mengatakan bahwa arti dari pada al-Yaum dalam surat ini memiliki arti metafora?
Pendapat kedua: yang dimaksud dari al-Yaum yang berarti hari ini dalam surah ini memiliki arti hakiki dan sebuah hari yang sudah diketahui hari tersebut adalah hari Arafah, tahun 8 bulan Dzulhijjah. Hari Arafah yang terjadi pada peristiwa Hajjatul-wada’ haji perpisahan / terakhir yang dilakukan oleh Rasulullah Saw pada tahun kesepuluh hijriah.
Pendapat ini juga tidak begitu memuaskan, karena apakah yang membedakan hari Arafah pada tahun kesepuluh hijriah dengan hari Arafah pada tahun kesembilan dan kedelapan?! Jika sebuah peristiwa tidak terjadi di sana, maka bagaimana mungkin hari ini dianggap sebagai hari yang sangat besar dan agung?! Al-hasil pendapat ini juga tidak bisa kita terima karena sulit dicerna dan dibayangkan. Hasilnya dua pendapat yang dipaparkan oleh Fakhru-Razi ini tidak menyingkap misteri besar yang terdapat dalam ayat ini.
Pendapat ketiga: Marhum Thabrisi, salah seorang mufasir ternama kalangan Syi’ah, setelah menukil dan menolak dua pendapat Fakhru-Razi, beliau menukil penafsiran Ahlul Bait a.s. tentang ayat tersebut yang diterima oleh semua para mufasir Syi’ah juga ulama dan cendekiawan mereka.
Pengikut pendapat ini berkeyakinan maksud dari hari yang sangat agung yang membuat orang-orang kafir berputus asa dan menjadi sebab kerelaan Allah Swt serta menjadi sebab kesempurnaan agama dan nikmat-Nya adalah hari kedelapan belas dari bulan Dzul hijjah tahun kesepuluh hijriah, yang tak lain adalah hari raya Ghadir; sebuah hari di mana Rasulullah Saw dengan titah Allah Swt secara resmi melantik Ali bin Abi Thalib a.s. sebagai Wali dan Khalifah setelah beliau di hadapan kaum muslimin.
Soal: apakah pendapat ini sesuai dengan kandungan ayat yang mulai itu?
Jawab: jika kita melihat dengan penglihatan yang sportif dan tanpa praduga sebelumnya, kita akan mendapati bahwa ayat ini secara utuh sesuai dan berkaitan dengan peristiwa Ghadir, karena:
Pertama: musuh-musuh Islam setelah tidak mampu melenyapkan Islam melalui peperangan-peperangan, ancaman-ancaman dan konspirasi-konspirasi yang mereka lakukan, mereka tetap berharap pada satu hal yaitu Rasulullah Saw akan meninggal dunia dan setelah kepergiannya - terlebih setelah mereka mengetahui bahwa beliau tidak memiliki seorang putra yang akan menjadi penggantinya juga sampai detik itu beliau tidak menentukan penggantinya secara resmi - mereka bisa memiliki harapan untuk menghancurkan dan merusak Islam, akan tetapi setelah mereka melihat Rasulullah Saw pada hari itu tanggal delapan belas Dzulhijjah tahun sepuluh Hijriah, di Padang sahara Ghadir Khum dan di tengah-tengah khalayak yang begitu besar dan tiada tandingnya beliau melantik orang yang paling pintar, paling kuat, paling paham dan sosok paling piawai dalam dunia Islam maka harapan-harapan mereka tak lebih dari isapan jempol belaka dan satu-satunya harapan mereka untuk menghancurkan Islam menjadi sirna.
Kedua: dengan pelantikan imam Ali a.s. kenabian tidak terputus di tengah jalan, akan tetapi risalah ini tetap berlanjut untuk menyempurna, karena pada dasarnya, Imamah merupakan penyempurna kenabian dan hasilnya menjadi sebab kesempurnaan bagi agama; oleh karena itu Allah Swt memilih Ali a.s. sebagai khalifah kaum muslimin yang merupakan sebuah sosok besar yang paling alim dan paling pintar setelah pribadi agung Rasulullah Saw dan secara langsung menyempurnakan agama-Nya.
Ketiga: Nikmat-nikmat Allah Swt menjadi sempurna setelah pelantikan kepemimpinan Rasulullah Saw.
Keempat: Tanpa diragukan lagi, agama Islam tanpa Imamah dan kepemimpinan tidak akan bisa menjadi sebuah agama yang global, universal dan pamungkas. Agama terakhir hendaknya mampu menjawab segala keperluan manusia di setiap masa, hal ini sulit dibayangkan jika tidak ada seorang imam maksum yang hadir di setiap zaman.
Oleh karena itu, penafsiran ayat yang mulia tersebut dengan peristiwa Ghadir merupakan penafsiran yang bisa diterima; bahkan penafsiran ini merupakan satu-satunya penafsiran yang benar.
Apakah maksud dari penyempurnaan agama itu?
Dalam menafsirkan penggalan dari ayat di atas “hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian” telah terdapat tiga pendapat:
1) Yang dimaksud dari pada din dari ayat ini adalah undang-undang; artinya pada hari tersebut undang-undang Islam telah sempurna dan setelahnya Islam tidak memiliki kekurangan sedikitpun dalam undang-undangnya.
Untuk menjawab pertanyaan ini bisa kita tanyakan kepadanya: Peristiwa apakah yang terjadi pada hari tersebut atau undang-undang apakah yang telah turun pada hari itu yang membuat undang-undang ilahi menjadi sempurna? (Jawaban dari pertanyaan ini merupakan poin penting dan penjelas dari pada ayat ini).
2) Sebagian kelompok meyakini bahwa maksud dari pada din dari ayat di atas adalah haji; dengan arti pada hari yang khusus dan agung tersebut Allah telah menyempurnakan haji kalian.
Akan tetapi apakah benar din dalam bahasa bermakna haji? Atau din merupakan sekumpulan dari keyakinan-keyakinan dan amal perbuatan di mana haji salah satu dari bagian amal-amal tersebut?
Jelas kemungkinan kedua itu yang benar yang dengan demikian penafsiran agama dengan haji merupakan penafsiran yang tak berdasar.
3)Terwujudnya kandungan ayat dan penyempurnaan agama serta perampungan nikmat itu disebabkan karena Allah Swt pada hari tersebut telah memenangkan kaum muslim terhadap musuh-musuhnya dan membebaskan mereka dari kejelekan mereka.
Akan tetapi apakah pendapat ini benar?! Musuh manakah yang telah dikalahkan dan berputus asa? Kaum Musyrik dari bangsa Arab pada tahun delapan hijriah telah memeluk agama Islam saat peristiwa takluknya kota Mekkah (Fath Mekkah); orang-orang Yahudi di kota Madinah, Khaibar, kabilah Bani Quraidhah, Bani Qainuqo’ dan Bani Nadzir beberapa tahun sebelumnya telah mengalami kekalahan di perang Khaibar dan Ahzab mereka telah menyerah kepada Islam atau mereka hijrah keluar dari pemerintahan Islam, orang-orang kristen juga dengan menandatangani surat perdamaian dengan kaum muslimin; oleh karena itu seluruh musuh-musuh Islam sebelum tahun kesepuluh hijriah telah menyerah kepada Islam.
Memang benar, bahaya kaum munafik yang merupakan musuh yang paling berbahaya bagi agama dan selalu menunggu masa-masa yang tepat sampai saat itu belum menyerah dan belum hilang. Akan tetapi, bagaimana mereka kalah dan berputus asa?
Lagi-lagi pertanyaan ini tak mendapat jawaban seperti pertanyaan-pertanyaan yang telah dipaparkan di atas ini pendapat pertama di mana para pengikut pendapat ini tidak bisa menjawabnya.
Akan tetapi penafsiran ulama-ulama Syi’ah (sebagaimana telah disebutkan) telah memberikan jawaban yang lengkap terhadap pertanyaan-pertanyaan ini dan telah memberikan kejelasan akan tafsiran ayat tersebut.
Ya, peristiwa Ghadir Khum dan masalah wilayah dan kepemimpinan Amirul Mukminin Ali a.s. merupakan penafsiran terbaik atau bahkan satu-satunya penafsiran yang benar terhadap ayat yang mulia ini; karena dengan peristiwa inilah rasa putus asa kaum munafikin itu tampak dan jelas.
Pengakuan Menarik dari Fakhru-Razi
Fakhru-Razi seorang mufasir terkenal dari kalangan Ahli unah mengatakan: para ahli sejarah dan ahli hadis telah mengatakan bahwa saat ayat ini turun kepada nabi Saw beliau tidak hidup lama kecuali 81 atau 82 hari (bahkan usia beliau tidak lebih dari tiga bulan) dan dalam masa waktu yang kurang dari tiga bulan ini tidak ada satupun hukum-hukum Islam yang bertambah begitu juga tidak ada hukum-hukum Islam yang berkurang atau dihapus[1] oleh hukum baru dan peletakan undang-undang telah selesai.[2]
Sesuai penuturan Fakhru-Razi ayat yang mulia di atas turun pada 81 atau 82 hari sebelum Kepergian Rasulullah Saw. Dengan mengacu pada perkataan ini bisa kita menebak bahwa kapan ayat ini turun. Untuk memperjelas poin ini perlu bagi kita untuk mengetahui sejarah wafatnya Rasulullah Saw. Ahli Sunah meyakini bahwa Rasulullah Saw lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal dan kebetulan juga pada tanggal yang sama yaitu pada tanggal 12 Rabiul awal beliau wafat.
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa pendapat ini juga didukung oleh sebagian ulama Syi’ah, salah satu di antara mereka adalah Marhum Kulaini (pengarang kitab al-Kafi) beliau meyakini bahwa hari wafat Rasulullah Saw pada hari kedua belas bulan Rabiul Awal.[3] Kendati hari kelahiran Rasulullah Saw sesuai masyhur ulama Syi’ah adalah tanggal 17 Rabiul Awal. Oleh karena itu kita harus menghitung mundur 81 atau 82 hari tersebut. Dan mengingat tiga bulan berturut-turut itu tidak akan bisa tiga puluh hari sebagaimana juga tidak bisa dua puluh sembilan hari maka kita harus menghitung dua bulan itu tiga puluh hari dan satu bulannya dua puluh sembilan hari atau dua bulannya sebanyak dua puluh sembilan hari sedang satu bulannya tiga puluh hari.
Jika dua bulan Safar dan Muharam kita hitung dua puluh sembilan hari maka semuanya berjumlah lima puluh delapan hari yang dengan menambah dua belas hari bulan Rabiaul Awal akan menjadi Tujuh puluh hari dan mengingat bulan Dzul Hijjah tiga puluh hari kita hitung maka dua belas hari ke belakang akan menjadi 82 hari dengan mengurangi dua belas hari bulan Dzul Hijjah maka kita akan sampai kepada tanggal delapan belas dari bulan ini yang merupakan hari raya Ghadir. Berdasarkan perhitungan ini yang sesuai dengan pendapat ulama Ahli Sunah ayat yang mulia di atas berkenaan dengan Ghadir bukan hari Arafah jika 81 hari kita jadikan standar maka sesuai dengan hari sebelum hari Ghadir Khum dan sangat jauh dengan hari Arafah dan tidak ada kesesuaian sama sekali. Dan jika bulan Safar dan Muharam kita anggap tiga puluh hari sedang bulan Dzul hijjahnya dua puluh sembilan hari, maka sesuai pendapat 82 hari maka 19 Dzul Hijah itu yang benar dan sesuai 81 hari tanggal 20 Dzul Hijjah merupakan waktu turunnya ayat ini, artinya ayat mulia ini satu atau dua hari turun setelah peristiwa Ghadir dan pelantikan Amirul Mukminin Ali a.s. sebagai seorang wali dan menjelaskan peristiwa sejarah yang penting tersebut juga lagi-lagi tidak memiliki hubungan dengan hari Arafah sama sekali!
Konklusinya adalah bukti-bukti yang beragam telah menunjukkan bahwa ayat yang mulia itu turun berkaitan dengan wilayah dan Khilafah Amirul Mukminin Ali a.s.
Soal: Permulaan ayat ketiga dari surah Al-Maidah berkaitan dengan daging-daging yang diharamkan[4] sedang pada akhir ayat ini berbicara tentang keterdesakan dan hukumnya[5] dan di tengah-tengah dua poin tersebut ditegaskan wilayah dan kepemimpinan. Lalu apakah keserasian antara masalah wilayah dan Imamah serta kepemimpinan selepas Rasulullah dengan masalah daging-daging haram dan hukum orang yang terdesak? Apakah ini tidak bisa menjadi bukti bahwa ungkapan dari ayat tersebut itu tidak berkaitan sama sekali dengan wilayah tapi berkaitan dengan masalah yang lain?
Jawab: ayat-ayat al-Quran Karim tidak disusun sebagaimana sebuah buku klasik, akan tetapi Quran dicatat dan disusun sesuai urutan turunnya (kadang kala dengan perubahan dan perpindahan) sesuai perintah Rasulullah Saw. Oleh karena itu bisa jadi permulaan ayat di atas berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi berkenaan dengan daging-daging yang diharamkan sebelum terjadinya peristiwa Ghadir dan setelah sesaat terjadinya peristiwa Ghadir para penulis wahyu menulisnya dengan diakhiri dengan hukum daging-daging yang diharamkan. Kemudian masalah terdesak atau personifikasi dari hal-hal tersebut telah terjadi dan hukum-hukumnya sedang akhir dari pada ayat tersebut memuat hukum orang yang terdesak sebagai lanjutan dari bagian tengah ayat tersebut. Oleh karena itu dengan merujuk kepada poin di atas maka tidak lazim ayat-ayat itu memiliki keserasian khusus satu sama lain.
Memperhatikan poin ini dapat menuntaskan berbagai Syubhat dan isykalan-isykalan yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran karim.
Pertanyaan lain: Dalam pembahasan-pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa ayat ketiga dari surat al-Maidah merupakan ayat terakhir yang turun kepada Rasulullah Saw dan dengan diturunkannya ayat ini agama menjadi sempurna juga kumpulan undang-undang yang lazim secara utuh telah turun kepada beliau jika memang demikian kenapa setelah ayat ini atau di penghujung ayat ini dijelaskan hukum kondisi terdesak? Jika ayat penyempurnaan agama ini menjadi akhir ayat yang turun dan mengkhabarkan akan kesempurnaan agama dan undang-undangnya, lalu kenapa undang-undang baru ini turun setelah khabar tersebut?
Jawab: Isykalan ini bisa dijawab dengan dua bentuk:
Jawaban pertama: Berkenaan dengan kondisi terbesar seperti dalam musim kemarau atau kelaparan yang berada di akhir pembahasan ayat ini bukanlah hukum baru; akan tetapi ia merupakan hukum ta’kidi (penekanan). Karena hukum ini telah turun sebelum ayat ini dan telah disebutkan di tiga ayat yang lain:
a. Dalam ayat 145 surat al-An’am yang tanpa diragukan termasuk surat Makkiyah kita mendapati: “katakanlah: aku tidak mendapatkan di dalam wahyu yang telah diturunkan kepadaku tidak ada makanan haram yang aku temukan kecuali bangkai atau darah (yang berasal dari badan binatang) keluar atau daging babi di mana itu merupakan sebuah kotoran, atau binatang yang berdosa di mana saat disembelih di nama arca-arca selain Allah itu disebutkan. Sedang orang yang terpaksa atau terdesak untuk memakan hal-hal yang diharamkan ini dengan tanpa ingin menikmatinya atau tidak melampaui batas ( maka dia tidak berdosa); karena Allah SWT maha pengampun lagi maha penyayang” . sebagaimana anda perhatikan dalam ayat yang mulia ini yang turun di Mekkah karena beliau belum hijrah ke Madinah sudah turun kepada nabi di mana telah disebutkan hukum Idthirar.
b. Dalam ayat 115 surat an-Nahl di mana sebahagiannya turun di Mekkah dan sebahagiannya lagi turun di Madinah disebutkan: “sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada kalian bangkai, dara, daging babi, dan apa-apa yang disembelih tanpa menyebut nama Allah maka barang siapa yang terdesak untuk memakannya yang dia tidak melampaui batas kewajaran maka sesungguhnya Allah memberikan ampunan kepadanya karena sesungguhnya Allah maha pengasih lagi maha penyayang.” Dalam ayat mulia tadi yang turun sebelum ayat yang kita bahas yaitu ayat Ikmal hukum idthirar juga telah disebutkan.
c. Dalam ayat173 surat al-Baqarah di mana turun pada permulaan hijrah di kota Madinah, hukum idthirar juga telah disebutkan; dan mengingat ayat ini serupa dengan ayat sebelumnya (Walaupun ada perbedaan tapi perbedaan itu terlampau sedikit) maka kami rasa tidak perlu untuk mengulangnya kembali.
Konklusinya adalah hukum idthirar sudah dibahas dalam tiga ayat al-Quran sebelum ayat ini,[6] oleh karena itu dalam ayat ini tidak dalam rangka menyebutkan hukum baru serta tidak bertentangan dengan ayat Ikmaluddin oleh karena itu setelah ayat Ikmaluddin tidak ada undang-undang baru yang turun kepada Rasulullah Saw.
Jawaban kedua: ayat-ayat al-Quran Karim dikumpulkan atau disusun bukan sesuai turunnya ayat akan tetapi sesuai dengan perintah atau petunjuk nabi Saw dengan metode khusus, sebagai contoh ayat 67 surat al-Maidah yang berbunyi: “wahai Rasulullah sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu dari tuhanmu...”, secara yakin itu turun sebelum ayat yang kita bahas ini (ayat ketiga surat Maidah) akan tetapi saat penyusunan ayat itu diletakkan setelah ayat ini; oleh karena itu tidak apa-apa jika hukum idthiror ini yang jelas turun sebelum ayat Ikmaluddin itu ditulis dan dicatat setelah ayat ini.
Metode kedua: Menafsirkan Ayat Dengan Berdasarkan Riwayat-riwayat
Hadis-hadis dan riwayat yang menjadi kondisi turunnya ayat tersebut begitu banyak. Marhum Allamah Amini ra dalam kitabnya yang begitu berharga dan tiada bandingnya yaitu al-Ghadir[7] secara panjang lebar membahas peristiwa Ghadir. Beliau telah menukil dalam kitabnya 110 orang sahabat juga 80 tabiin[8]; penulis kitab al-Ghadir menukil peristiwa besar dan tiada tandingnya dari 360 kitab yang berbeda-beda; kitab-kitab yang sebagian darinya berasal dari kalangan Ahli Sunah dan sebagian yang lain berasal dari kalangan Syi’ah. Adapun poin yang perlu diperhatikan adalah seluruh riwayat-riwayat yang berkaitan dengan peristiwa akbar al-Ghadir tidak berkaitan dengan pembahasan kita sekarang, akan tetapi riwayat-riwayat yang berkenaan dengan turunnya ayat yang mulia ini yang berkaitan dengan pembahasan kita dan kebetulan jumlah riwayat ini juga tidak sedikit Muhaqqiq Allamah Hilli dalam kitabnya menyebutkan 16 riwayat yang dinukil berkenaan dengan hal ini[9]
Riwayat-riwayat tersebut demikian:
1. Suyuti, salah satu ulama terkenal Ahli Sunah yang hidup di Mesir dan mendapat tempat yang terhormat di kalangan Ahli Sunah telah menyebutkan dan menukil sebuah riwayat:
Abu Said al-Hudri mengatakan: saat Rasulullah Saw melantik Ali a.s. di hari Ghadir Khum sebagai pengganti setelahnya dan mengumumkan wilayahnya kepada kaum mukminin, Jibril turun dan membawa ayat ini kepada beliau.[10] Sesuai riwayat ini yang dinukil dari Ahli sunah, maka maksud dari kata al-yaum adalah hari Ghadir Khum dan ayat yang sedang dibahas berkenaan dengan wilayah dan kepemimpinan Ali as.
2. Ulama Ahli Sunah tersebut juga meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah, seorang perawi yang diterima dan dihormati oleh kalangan Ahli Sunah . sesuai dengan riwayat ini Abu Hurairah mengatakan: ketika hari Ghadir Khum tiba yaitu hari ke delapan belas Dzul Hijjah, Rasulullah Saw bersabda: barang siapa aku maulanya maka ini Ali sebagai maulanya (juga), maka Allah SWT menurunkan ayat:[11] Riwayat ini juga dengan jelas dan tegas menunjukkan pada apa yang telah kita tekankan dan kita bahas.
3. Khatib Bagdadi salah satu ulama lain dari Ahli Sunah yang hidup di abad kelima hijriah[12] dalam kitabnya Tarikh Baghdad dengan menukil riwayat dari Abu Hurairah disebutkan: Rasulullah Saw bersabda: Barang siapa berpuasa di hari kedelapan belas dari bulan Dzul Hijjah maka dicatat baginya (pahala puasa 60 bulan) hari itu adalah hari Ghadir Khum saat Rasulullah Saw mengangkat tangan Ali Bin Abi Thalib a.s kemudian beliau bersabda: Tidakkah aku wali kaum mukminin? Semua menjawab: ya benar wahai utusan Allah, Rasulullah Saw kemudian bersabda: barangsiapa aku maulanya maka Ali adalah maulanya (juga). Kemudian Umar bin Khattab berkata: Selamat bagimu wahai putra Abi Thalib kamu telah menjadi maulaku dan maula setiap mukmin dan mukminah, kemudian Allah SWT menurunkan ayat[13]
4. Hakim Haskani, di mana dia termasuk ulama Ahli Sunah yang hidup di abad kelima juga meriwayatkan beberapa riwayat yang gamblang dan jelas dalam hal ini, tapi untuk meringkas kami tidak perlu menyebutkan riwayat-riwayat yang dinukil di kitabnya.[14]
Hafidz Abu Naim Isfahani dalam kitab “Ma Nuzzila minal Quran fi Ali a.s.” (ayat-ayat yang berkenaan dengan Ali a.s.) menukil dari seorang sahabat terkenal Rasulullah Saw, Abu Said al-Hudri di mana Rasulullah Saw telah melantik dan mengumumkan kepada ummat manusia bahwa Ali a.s. Wali dan khalifah mereka khalayak belum berpisah satu sama lain di mana ayat Ikmal.[15] turun, pada saat itu Rasulullah Saw bersabda: Allahu Akbar atas penyempurnaan agama, perampungan nikmat, kerelaan tuhan atas risalahku dan kepemimpinan Ali setelahku. Kemudian beliau bersabda: barang siapa aku maula baginya maka Ali adalah maulanya juga. Ya Allah lindungilah atau cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan hinakanlah orang yang menghinanya.[16] Konklusinya adalah dari riwayat-riwayat yang telah disebutkan dan riwayat-riwayat lain yang begitu banyak yang tidak dapat kira sebutkan semua untuk menyingkat pembahasan secara gamblang dan jelas dapat dipahami bahwa ayat Ikmaluddin yang mulia ini turun berkaitan dengan peristiwa akbar al-Ghadir dan menjadi bukti jelas yang jelas juga lugas terhadap kepemimpinan, wilayah dan khilafah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.
Ungkapan menarik dari Alusi
Kendati banyak bukti-bukti yang gamblang dalam ayat mulia tersebut sebagaimana telah lewat pembahasannya dan riwayat-riwayat yang begitu banyak yang telah dinukil baik dari kalangan Syi’ah dan kalangan Ahli Sunah sebagian kalangan atas dasar fanatik dan keras kepala masih tetap menafsirkan ayat mulia tersebut sesuai dengan kemauannya sendiri dan keluar dari pembahasan logis. Salah satu dari mereka adalah Alusi seorang Mufassir kenamaan Ahli Sunah penulis tafsir terkenal Ruhul-Ma’ani. Saat menjelaskan dan menafsirkan ayat ke-67 surat al-Maidah ketika sampai pada peristiwa Ghadir dia mengatakan: Ibnu Jarir at-Thabari salah seorang ahli sejarah terkenal Ahli Sunah telah menulis dua jilid kitab berkenaan dengan riwayat-riwayat al-Ghadir, kemudian (tanpa membahas dan memeriksa riwayat-riwayat yang ada dalam kitab tersebut) dia berkata: Dalam dua kitab tersebut hadis-hadis yang sahih dan yang dhaif telah di campur aduk ! Kemudian dia menukil dari Ibnu Asakir di mana dia banyak sekali menukil tentang hadis berkenaan dengan khutbah dan peristiwa al-Ghadir, akan tetapi kami hanya menerima hadis-hadis yang tidak berbicara tentang khilafah dan kepemimpinan Ali a.s.[17]
Ungkapan semacam ini sungguh telah membuat heran setiap orang yang sportif.
Apakah kita bisa menolak seluruh isi kitab tersebut dengan dalil di dalamnya terdapat hadis-hadis yang dhaif dan tidak bisa diterima?
Apakah dalam kitab-kitab standar Ahli Sunah tidak terdapat hadis-hadis dhaif?
Apakah dengan dalil ini kalian tidak akan menyentuh kitab-kitab seperti ini?
Jelas ungkapan semacam ini sangat lucu dan perlu ditertawakan. Akan tetapi ungkapan yang lebih parah dari ini, ungkapan yang berkaitan dengan riwayat Ibn Asakir. Di mana ungkapan tersebut merupakan puncak kecongkakan dan permusuhannya dengan kebenaran dan hakikat Ahlul Bait a.s. Di belahan bumi mana ungkapan ini bisa diterima di mana seseorang berkata: apa yang sesuai dengan keinginan dengan hawa nafsu saya akan saya terima sedang yang tidak sesuai tidak akan saya terima!
Apakah ungkapan semacam ini bisa diterima dari seorang biasa..?
Dari seorang ulama seperti Alusi, bagaimana mungkin?!
Para pembaca yang budiman! Mungkin dengan keheranan yang luar biasa kita bertanya pada diri kita sendiri bagaimana mungkin seorang sosok besar seperti Alusi melontarkan ungkapan-ungkapan yang tidak berdasar? Akan tetapi untuk menjawab pertanyaan tadi perlu disampaikan: setiap orang yang ingin memutuskan sesuatu dan menganggap dirinya dan tidak menjaga dirinya untuk cepat-cepat menghukumi pasti dia akan terjerembab pada nasib yang sama!
Pesan-pesan Ayat
1. Wilayah yang membuat putus asa para musuh, jika kalian ingin para musuh kalian berputus asa di setiap masa maka berpegang teguhlah kepada wilayah dan hidupkanlah ia; karena sebagaimana pada hari tersebut pemaparan wilayah membuat para musuh membuat putus asa, pada masa sekarang pun menghidupkan kembali dan berpegang teguh kepadanya menjadi sebab keputusasaan para munafik dan musuh-musuh. Masa sekarang ini, hendaknya semua menuju dan mengarah kepada imam yang gaib dari pandangan namun hadir dalam kalbu dan pikiran yaitu imam zaman, Imam Mahdi a.s. Dan hendaknya kita melangkah di bawah naungannya; karena wilayah beliau merupakan pemersatu kaum Syi’ah dengan berbagai latar belakang yang beragam. Oleh karena itu, hidupnya wilayah merupakan tiupan angin segar, satu dan kesatuan dan kesamaan langkah. Ini merupakan awal dari kebahagiaan dan harapan sebagaimana perbedaan dan perpecahan sumber malapetaka dan kemunduran.
Jika semua negara-negara Islam yang terpecah belah mengamalkan salah satu dasar yang pokok ini dan merangkul satu sama lain dan bersatu, maka kisah memilukan Palestina tidak akan terulang lagi, dan para muslim yang tertindas tidak akan memuji-muji bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu satu-satunya jalan yang dapat membuat orang kafir berputus asa adalah berpegang teguh kepada tali wilayah.
2. kesempurnaan agama dan rampungnya nikmat berada di bawah naungan wilayah
sebagaimana d pahami dari ayat tadi, penyempurnaan agama dan rampungnya kenikmatan terwujud karena wilayah; masa sekarangpun turunnya nikmat-nikmat baik materi maupun maknawi serta kesempurnaan agama dalam berbagai sisi-sisinya akibat wilayah. Tanpa wilayah kendati agama dipraktekkan amal-amal ibadah dilaksanakan, namun tanpa diragukan lagi semua itu tidak akan diterima di sisi Allah Swt; oleh karena itu kesempurnaan nikmat dan agama di setiap masa bergantung kepada konsekuensi kita terhadap tali wilayah dalam tataran praktis.
Pembahasan tambahan
1. Wilayah merupakan permasalahan paling pokok dalam Islam
Berkenaan dengan pentingnya wilayah begitu banyak riwayat yang menjelaskan hal tersebut; salah satu contoh yang akan kita bawakan sebagai pelengkap pembahasan di atas berikut ini riwayat dari imam Muhammad Al-Bagir a.s.: Zurarah menukil dari beliau: Islam dibangun atas lima hal; salat, zakat, puasa, haji, dan wilayah. Kemudian Zurarah bertanya: Manakah di antara kelima hal tersebut yang paling mulia?beliau menjawab: Wilayah yang paling utama karena wilayah kunci dari segalanya sedang wali atau imam merupakan pembimbing manusia terhadapnya.[18]
Dua poin yang perlu dicermati dari riwayat tersebut:
a) kelima hal maha penting itu bukan asal-asalan (begitu saja) digandengkan satu sama lain, akan tetapi kelimanya memiliki hubungan erat satu dengan lainnya.
Salat merupakan hubungan hamba dengan penciptanya, bahkan masa terbaik untuk hubungan antara makhluk dengan khaliknya adalah waktu salat.
Zakat merupakan hubungan antara makhluk dengan sesamanya; orang yang membutuhkan, dengan pelaksanaan undang-undang zakat yang dilakukan oleh orang-orang kaya akan lenyap dari mereka masalah-masalah ekonomi yang mereka hadapi.
Puasa merupakan hubungan manusia dengan dirinya sendiri; dengan menciptakan hubungan ini manusia dapat menaklukkan dan melawan hawa nafsunya; bahkan puasa merupakan simbol melawan hawa nafsu.
Haji merupakan hubungan sekelompok kaum muslimin dengan kelompok yang lain di mana dengan kesatuan pikiran dan tukar-menukar pendapat problematika dunia Islam dapat ditangani.
Sedang wilayah merupakan penjamin terlaksananya hal-hal tersebut dengan benar dan penjelas hukum-hukum dari masalah itu.
Oleh karena itu empat asa di atas bukan secara kebetulan disebutkan bersamaan dalam riwayat ini akan tetapi mereka memiliki hubungan logis satu sama lain.
(b) Lalu kenapa wilayah lebih penting dan utama dari empat asas yang pertama?
Sebagaimana di dalam riwayat juga disebutkan, wilayah merupakan penjamin terwujudnya salat, puasa, haji dan zakat dan kandungan ibadah-ibadah ini, bahkan seluruh ibadah-ibadah yang lain dapat dilaksanakan (secara benar) di bawah naungan wilayah; artinya tanpa wilayah dan kepemimpinan Islam undang-undang ini tak lebih dari hitam di atas putih saja, dan seperti resep seorang dokter yang jika tidak diamalkan kesembuhan akan sulit didapatkan.
Wilayah berarti pelaksanaan undang-undang Islam oleh para imam maksum dan para pengganti mereka; oleh karena itu pemerintahan wilayah dari salat, puasa, haji dan zakat itu lebih tinggi yang hasilnya adalah pemerintahan Islam; sebuah wilayah yang bersumber dari wilayah Amirul Mukminin Ali a.s. di Ghadir khum:
1) Wilayah Memiliki Dua Arah
Wilayah sesuai penafsiran tadi memiliki dua arah:
Satu sisi wali dan pemimpin di mana dia memberi petunjuk kepada umat manusia, menjelaskan pembahasan-pembahasan yang perlu disampaikan, memberikan kewaspadaan kepada kaum muslimin di hadapan bahaya-bahaya, menciptakan ketertiban dan keteraturan, memberikan hak-hak orang-orang yang tertindas, menerapkan hukum-hukum ilahi dan menegakkan amar makruf dan nahi anil munkar.
Sedang sisi lainnya adalah umat manusia di mana mereka harus berusaha untuk mengatur langkah mereka sesuai dengan ucapan, tindakan, keyakinan dan pemikiran para imam, karena tidak bisa dikatakan mereka pengikut garis wilayah namun membiarkan dirinya melakukan pelanggaran dan penyimpangan.
Hal yang menarik adalah pada satu ketika ketua Savak dalam salah satu interogasinya berkata kepada saya (penulis): kecintaan terhadap a.s. Ali dan wilayahnya tetap berada di hatiku akan tetapi jika orang-orang bangkit menentang Syah, maka aku rela untuk membinasakan satu juta orang dari mereka! Apakah tindakan dan pemikiran semacam ini sesuai dengan wilayah? atau wilayah semacam ini adalah wilayah gombal belaka?
Ya, wilayah adalah menyesuaikan seluruh amal perbuatan, ucapan dan pikiran atas keyakinan, ucapan dan tindakan para maksumin a.s.
Catatan Kaki:
[1] Hari-hari ini telah mendapat serangan yang bertubi-tubi dari orang-orang yang tidak memiliki kesadaran; salah satu dari serangan mereka adalah Islam seharusnya tidak terbatas dengan apa yang dimiliki sekarang bahkan Islam harus menambahkan pemikiran dan poin-poin lain kepada undang-undang dan aturan-aturannya, dan jika Rasulullah Saw lebih lama lagi hidup maka undang-undang lain dalam bentuk wahyu akan turun kepada beliau; konklusinya adalah Islam adalah sebuah agama yang tidak sempurna dan harus disempurnakan!
Jawab: apa yang disampaikan oleh Fakhru-Razi tadi maka jawaban dari syubhah ini akan jelas; karena jika memang demikian maka seharusnya dalam masa waktu delapan puluh sekian hari di mana Rasulullah Saw masih hidup setelah turunnya ayat Ikmal ini seharusnya ayat dan undang-undang turun kepada beliau. Oleh karena itu mengingat dalam masa ini tidak ada undang-undang khusus yang turun maka kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa apa yang seharusnya bias disampaikan itu telah dilakukan dan jika nabi Saw hidup beberapa tahun lagi setelah itu tetap undang-undang islam tidak akan bertambah.
Di sini perlu kita sayangkan di mana bagaimana orang-orang yang tidak mengenal sumber-sumber keislaman yang tidak memiliki kesadaran dapat memberikan pendapat?! Kenapa di setiap tempat hanya orang-orang yang memiliki keahlian dan pengetahuan yang memberikan pendapat akan tetapi di dalam permasalahan agama kita melihat setiap orang berani memberikan pendapat dan ikut andil meramaikan perbedaan pendapat yang ada?!
[2] Tafsir Kabir, jilid 11, hal 139.
[3] Usul-Kafi, jilid ke-2, hal 323 (kitab al-Hujjah, bab-bab Tarikh, Bab Maulidin-nabi Saw)
[4] Permulaan ayat tersebut adalah: “Telah diharamkan kepada kalian bangkai, darah, daging babi, hewan-hewan yang disembelih dengan tanpa menyebut nama Allah, hewan-hewan yang tercekik,hewan-hewan yang terjatuh dari ketinggian dan hewan-hewan yang mati karena ditanduk hewan-hewan lain atau hewan-hewan sisa dari binatang-binatang yang suka berburu kecuali yang telah disembelih oleh kalian, juga hewan-hewan yang disembelih di atas arca-arca; dan begitu juga membagikan daging hewan dengan kayu-kayu panah yang khusus untuk mengundi nasib semua pekerjaan-pekerjaan ini adalah fasik dan berdosa.”
[5] Bagian akhir dari ayat yang sedang kita bahas itu adalah: “sedang mereka yang sedang terjepit dalam keadaan lapar dia tidak mampu mendapatkan bahan makanan dengan tanpa cenderung kepada dosa (maka tidak apa-apa dia memakan daging-daging yang telah dilarang) maka Allah Swt maha pengampun lagi maha penyayang”.
[6] Kandungan 4 ayat idthirar ini beliau memberikan Kewenangan terhadap umat manusia untuk memanfaatkan daging-daging yang telah dilarang untuk menjaga jiwa dan keselamatannya yang jelas penggunaan itu harus sesuai dengan keperluannya; yang jelas hukum ini pada zaman kita sangat sedikit kita jumpai akan tetapi dalam perjalanan-perjalanan ke luar negeri dan ke berbagai Negara yang penyembelihan binatang-binatang tidak dilakukan dengan syar’i itu dapat kita temukan; oleh karena itu mereka yang bepergian ke negara-negara tersebut mereka yang sama sekali dia tidak memakan daging atau bahan-bahan protein lain keselamatannya akan terganggu maka dengan dalil darurah dia dapat menggunakan dan memanfaatkan daging-daging tersebut seperlunya untuk menghilangkan bahaya yang mengancam. Perlu ditekankan lagi bahwasanya itu harus sesuai dengan kebutuhan dan darurat yang ada.
[7] Kendati dalam topik kitab al-Ghadir terdapat kitab-kitab lain seperti Tabaqatul-Anwar, al-murajaat, Ihhqaqol-Haq dan yang lainnya itu telah ditulis akan tetapi kitab-kitab yang kita sebutkan tadi tidak bida menyamai kitab al-Ghadir; karena Marhum Allamah Amini telah membahasnya dengan lebih mendalam dan lebih teratur.
[8] Perbedaan antara sahabat dan tabiin adalah sahabat orang yang bertemu dengan Rasul Saw dan hidup di zaman beliau sedang tabiin dia tidak sempat berziarah kepada rasul dan tidak hidup sezaman dengan beliau akan tetapi mereka hidup di zaman para sahabat beliau.
[9] Al-Ghadir filKitab was-Sunnat wal-Adab, jilid 1, hal 230.
[10] Ad-Durul-Mantsur, jilid ke-2, hal 259.
[11] Ad-Durul-Mantsur, jilid 2, hal 259..
[12] Pada abad kelima hijriah hadis al-Ghadir mendapat tempat dan perhatian, sehingga pada abad tersebut begitu banyak kitab-kitab yang ditulis tentangnya.
[13] Tarikh Baghdad, jilid 8, hal 290.
[14] Jelas puasa di hari ke delapan belas bulan Dzul Hijjah guna mensyukuri ditetapkannya wilayah memiliki fadilat yang besar dan setara dengan pahala puasa enam puluh bulan hal ini juga merupakan bukti lain akan peristiwa maha penting yang terjadi di Ghadir jika tidak sangat sulit dibayangkan pahala yang besar dijanjikan untuk hari tersebut.
[15] Syawahid-Tanzil, jilid pertama, hal 153
[16] Tafsir Nemuneh, jilid 4, hal 266.
[17] Ruhul-Ma’ni, jilid 6 ,hal 195.
[18] Usul-Kafi, jilid 3, hal 30, kitabul-Iman wal-Kufr, bab Da’aimul-Islam, hadis ke-5.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar