Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga shalawat
dan salam senantiasa tercurahkan atas nabi dan nabi termulia, Muhammad dan
keluarga beliau yang suci. Dan semoga laknat abadi selalu terlimpahkan atas
musuh-musuh mereka semua dari sejak sekarang hingga hari kiamat.
BAB 1HUKUM-HUKUM TAKLID
Masalah 1: Akidah seorang muslim tentang Ushuluddin harus berdasarkan
kepada pengetahuan dan keyakinan (bashirah), dan ia tidak boleh
bertaklid berkenaan dengan hal ini. Artinya, tidak boleh ia menerima ucapan orang
lain yang memiliki pengetahuan tentang Ushuluddin tersebut hanya dengan alasan
bahwa ia mengatakan demikian. Akan tetapi, jika ia meyakini akidah-akidah Islam
yang benar dan menampakkannya—meskipun keyakinannya itu tidak berdasarkan pada bashirah tersebut, maka ia adalah muslim dan
mukmin, dan seluruh hukum Islam dan iman berlaku atasnya. Adapun berkenaan
dengan hukum-hukum (amaliah praktis sehari-hari)—selain hukum-hukum yang
bersifat dharuri dan pasti—seseorang harus menjadi
mujtahid—yang bisa menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya, bertaklid kepada
seorang mujtahid, atau mengerjakan kewajiban dan tugasnya atas dasar ihtiyath sehingga ia yakin telah melaksanakan
kewajibannya. Misal, jika sebagian mujtahid berfatwa bahwa sebuah amal adalah
haram, sementara itu sebagian mujtahid yang lain menyatakan bahwa amal tersebut
tidak haram, maka hendaknya ia tidak melakukannya, dan jika sebagian mujtahid
menyatakan bahwa sebuah amal adalah wajib, sementara itu sebagian mujtahid yang
lain menegaskan bahwa amal tersebut adalah sunah, maka hendaknya ia mengerjakan
amal tersebut.
Masalah 2: Taklid dalam hukum (Fiqih) adalah mengamalkan (sebuah hukum)
sesuai dengan ketentuan dan pendapat seorang mujtahid. Kita hanya boleh
bertaklid kepada seorang mujtahid yang (memenuhi syarat-syarat berikut ini):
a. Laki-laki.
b. Balig.
c. Berakal.
d. Bermazhab Syi'ah Itsna 'Asyariyah.
e. Anak halal.
f. Hidup.
g. Adil.
Orang yang adil adalah orang yang mengerjakan setiap
kewajiban yang telah diwajibkan kepadanya dan meninggalkan segala sesuatu yang
telah diharamkan atasnya. Tanda keadilan seseorang adalah, bahwa secara
lahiriah, ia adalah seorang yang baik sehingga apabila kita menanyakan tentang
dia kepada penduduk setempat, tetangga, atau orang-orang yang bergaul
dengannya, mereka akan membenarkan bahwa ia adalah orang yang baik. Jika
perbedaan fatwa antar para mujtahid berkenaan dengan masalah-masalah yang
sering dialami oleh setiap mukallaf sehari-hari diketahui—walaupun secara
global, maka mujtahid yang kita taklidi haruslah mujtahid yang a'lam. Yaitu, ia memiliki
kemampuan yang lebih dibandingkan dengan para mujtahid lain yang hidup semasa
dengannya dalam memahami hukum-hukum Allah.
Masalah 3: Kita dapat mengenal seorang mujtahid dan mujtahid yang a'lam melalui tiga jalan berikut ini:
Pertama, kita sendiri yakin (bahwa ia adalah seorang
mujtahid atau a'lam),
seperti kita sendiri adalah seorang ulama dan dapat mengenali seorang mujtahid
dan mujtahid yang a'lam.
Kedua, dua orang alim dan adil yang dapat menentukan
seorang mujtahid yang a'lam membenarkan kemujtahidan atau ke-a'lam-an
seseorang, dengan syarat dua orang alim dan adil yang lain tidak menentang
ucapan mereka tersebut. Bahkan menurut pendapat yang zhahir, kemujtahidan atau ke-a'lam-an
seseorang dapat dibuktikan melalui ucapan satu orang yang menjadi kepercayaan
kita.
Ketiga, kita dapat memperoleh kemantapan hati atas
kemujtahidan atau ke-a'lam-an seseorang melalui cara-cara yang 'uqala'i (yaitu, masuk akal menurut pandangan
orang-orang yang berakal—pen.). Seperti, beberapa orang ulama—yang dapat
menentukan seorang mujtahid atau mujtahid yang a'lam dan ucapan mereka menyebabkan kita
memperoleh kemantapan hati—membenarkan kemujtahidan atau ke-a'lam-an
seseorang.
Masalah 4: Jika perbedaan fatwa antara dua orang mujtahid atau lebih
berkenaan dengan masalah-masalah yang sering dialami oleh mukallaf sehari-hari
diketahui—walaupun secara global—dan juga diketahui bahwa salah seorang dari
mereka adalah a'lam dibandingkan dengan yang lainnya, akan
tetapi sulit bagi kita untuk menentukan (siapakah) mujtahid yang a'lam (di antara mereka itu), maka yangahwath adalah kita ber-ihtiyath—apabila
memungkinkan—dalam semua fatwa berkenaan dengan masalah-masalah tersebut,
(meskipun dalam masalah ini terdapat perincian pembahasan dan kesempatan ini
tidak cukup untuk memaparkan seluruhnya). Apabila tidak mungkin bagi kita untuk
ber-ihtiyath, seluruh amalan kita harus sesuai dengan fatwa marja' yang
kemungkinan ke-a'lam-annya melebihi marja'-marja' yang lain. Dan jika
kemungkinan ke-a'lam-an kedua marja' tersebut adalah sama, maka kita
berhak memilih antara keduanya.
Masalah 5: Fatwa seorang mujtahid dapat diperoleh melalui empat jalan:
Pertama, mendengar dari mujtahid itu sendiri.
Kedua, mendengar dari dua orang adil yang menukil
fatwa mujtahid tersebut.
Ketiga, mendengar dari seseorang yang hati kita merasa
mantap dengan ucapannya.
Keempat, melihat (baca: membaca) buku tuntunan amaliah
praktis mujtahid tersebut, asalkan hati kita mantap dengan kebenaran buku
tersebut.
Masalah 6: Selama kita tidak yakin bahwa fatwa mujtahid berubah, kita
masih bisa mengamalkan seluruh fatwa yang tertulis di dalam buku tuntunan
amaliah praktisnya. Jika kita memberikan kemungkinan bahwa fatwanya telah
berubah, tidak wajib kita menelitinya.
Masalah 7: Jika seorang mujtahid mengeluarkan fatwa tentang suatu
masalah, maka orang yang bertaklid kepadanya tidak boleh mengamalkan fatwa
mujtahid lain berkenaan masalah tersebut. Akan tetapi, jika ia tidak
mengeluarkan fatwa dan hanya berkata, "Ihtiyath adalah begini dan begitu,"
seperti ia berkata, "Ihtiyath adalah
dalam rakaat pertama dan kedua, setelah membaca surah Al-Fatihah, mushalliharus membaca satu
surah lagi secara sempurna," maka ia dapat mengamalkan ihtiyath tersebut—ihtiyath ini dinamakan ihtiyath wajib—atau merujuk
kepada fatwa mujtahid lain yang diperbolehkan untuk ditaklidi. Dengan demikian,
apabila mujtahid yang lain ini berfatwa cukup hanya membaca surah Al-Fatihah
(dalam kedua rakaat tersebut), maka ia boleh tidak membaca surah yang lain.
Begitu juga hukumnya jika seorang mujtahid yang a'lam berkata, "Masalah ini masih perlu
direnungkan (mahallu ta'ammul) atau isykal (mahallu isykal)."
Masalah 8: Jika mujtahid a'lam ber-ihtiyath setelah atau sebelum mengeluarkan
fatwa tentang suatu masalah, seperti ia berkata, "Bejana najis menjadi
suci setelah dicuci di dalam air kur sebanyak sekali, meskipun yang ihtiyath adalah hendaknya bejana itu dicuci
sebanyak tiga kali," maka orang yang bertaklid kepadanya dapat
meninggalkan ihtiyath tersebut. Ihtiyath semacam ini dinamakan ihtiyath mustahab.
Masalah 9: Jika mujtahid yang kita taklidi meninggal dunia, hukum
mujtahid tersebut setelah meninggal dunia adalah sama dengan hukumnya pada saat
ia masih hidup. Atas dasar ini, jika ia adalaha'lam dibandingkan dengan mujtahid yang
masih hidup, maka kita—asalkan kita tahu (fatwanya) berbeda (dengan fatwa
mujtahid yang masih hidup) berkenaan dengan masalah-masalah yang kita hadapi
sehari-hari walaupun secara global—harus tetap bertaklid kepadanya, dan jika
mujtahid yang masih hidup adalah a'lam darinya, maka kita harus merujuk
kepada mujtahid yang masih hidup tersebut. Apabila tidak diketahui manakah di
antara kedua mujtahid tersebut yang a'lam atau mereka adalah sama-sama a'lam, maka kita memiliki
pilihan untuk menyesuaikan amalan kita dengan fatwa mujtahid yang mana saja,
kecuali berkenaan dengan masalah ilmu ijmali atau adanya sebuah hujjah ijmali atas suatu taklif, seperti perbedaan
fatwa tentang masalah kewajiban mengqashar dan menyempurnakan (shalat). Dalam
masalah-masalah seperti, kita harus memperhatikan kedua fatwa tersebut. Maksud
dari "taklid" di permulaan masalah ini adalah sekadar keyakinan kuat
untuk mengikuti fatwa seorang mujtahid tertentu, bukan mengamalkan
fatwa-fatwanya secara praktis.
Masalah 10: Jika kita mengamalkan fatwa seorang mujtahid berkenaan
dengan suatu masalah dan setelah ia meninggal dunia, sesuai dengan tugas yang
kita miliki, kita mengamalkan fatwa mujtahid yang masih hidup berkenaan dengan
masalah yang sama, maka—untuk kedua kalinya—kita kita tidak boleh mengamalkan
masalah tersebut sesuai dengan fatwa mujtahid yang sudah meninggal dunia itu.
Masalah 11: Kita wajib mempelajari masalah-masalah yang—pada
umumnya—kita membutuhkannya.
Masalah 12: Jika kita menghadapi sebuah masalah yang kita tidak
mengetahui hukumnya, maka kita harus ber-ihtiyath atau bertaklid sesuai dengan
syarat-syarat yang telah dijelaskan. Akan tetapi, jika kita tidak mendapatkan
fatwa mujtahid yang a'lam berkenaan dengan masalah
tersebut—meskipun secara global kita tahu bahwa mujtahid non-a'lam memiliki fatwa yang berbeda dengan
fatwa mujtahida'lam dalam
masalah ini, maka diperbolehkan kita bertaklid kepada mujtahid non-a'lam.
Hanya saja, tetap kita harus memperhatikan urutan mujtahid yang a'lam setelah itu.
Masalah 13: Jika kita menginformasikan fatwa seorang mujtahid kepada
seseorang dan fatwa mujtahid tersebut berubah, maka kita tidak wajib
memberitahukan kepadanya bahwa fatwanya telah berubah. Akan tetapi, jika kita
tahu—setelah menginformasikan fatwa—bahwa kita telah keliru dalam
menginformasikannya dan informasi kita itu dapat menyebabkan ia beramal tidak
sesuai dengan kewajiban syar'i-nya,
maka berdasarkan ihtiyath
wajib kita harus membenarkan
kekeliruan tersebut, apabila memungkinkan.
Masalah 14: Jika seorang mukallaf mengerjakan amalan-amalannya tanpa
bertaklid selama beberapa waktu, lalu ia bertaklid kepada seorang mujtahid,
dalam hal ini apabila mujtahid tersebut menghukumi bahwa seluruh amalannya itu
adalah sah, maka seluruh amalan tersebut adalah sah. Apabila mujtahid itu tidak
menghukumi demikian, akan tetapi mukallaf tersebut tidak tahu hukum lantaran ia
adalah jahil qashir dan kebatalan seluruh amalan tersebut
tidak disebabkan oleh masalah-masalah rukun dan semisalnya, maka seluruh
amalannya adalah sah. Begitu juga sah seluruh amalannya, meskipun ia tidak tahu
hukum lantaran ia adalah jahil
muqashshir, akan tetapi kebatalan amalannya itu disebabkan oleh suatu hal
yang seandainya tidak dilakukan lantaran ia tidak tahu, maka amalan tersebut
masih dihukumi sah, seperti masalah membaca bacaan shalat dengan suara keras
pada kondisi yang semestinya harus dibaca pelan, atau sebaliknya. Begitu juga
sah amalannya jika ia tidak mengetahui bagaimana tata cara ia telah mengerjakan
seluruh amalannya yang lalu itu, kecuali dalam beberapa kondisi yang telah
dipaparkan dalam buku risalah amaliah praktis Al-Minhaj.
|
0 komentar:
Posting Komentar