Bismillâhirrahmânirrahîm
Mukaddimah
Di dunia modern dan
industri saat ini, setiap alat yang diproduksi oleh perancang dan penciptanya,
selalu disertai dengan buku petunjuk pengoperasian dan pemeliharaan, seperti
buku petunjuk lemari es atau televisi dan sebagainya, yang diberikan kepada
para pembeli barang-barang tersebut; yang memuat perincian tentang bagian luar
dan dalam peralatan tersebut, juga cara penggunaan yang benar, dan hal-hal yang
berbahaya bagi alat itu, dan sebagainya, agar pembeli dapat mempelajarinya dan
dapat memanfaatkannya dengan baik dan benar, juga agar mereka dapat menghindari
hal-hal tertentu yang akan membuat barang tersebut cepat rusak. Saya dan Anda
semua, juga seluruh manusia, adalah perangkat-perangkat yang sangat modern,
yang telah diciptakan oleh Dzat yang Maha Pencipta lagi Maha Kuasa. Dan oleh karena
kerumitan dan ketelitian yang sedemikian besar di dalam tubuh dan jiwa kita,
maka kita tidak mampu mengenali hakikat diri kita sendiri, juga jalan
kebahagiaan kita. Dari satu sisi, apakah kita ini lebih kecil dibanding dengan
lemari es dan televisi, yang para perancang dan penciptanya berkewajiban
menyertakan buku petunjuknya, sedangkan Pencipta kita tidak perlu menulis
sebuah buku petunjuk kecil untuk kita?!! Apakah kita tidak memerlukan buku
petunjuk, yang menjelaskan keistimewaan-keistimewaan tubuh dan jiwa manusia,
yang menerangkan segala kemampuan dan potensi-potensi yang telah diciptakan
dalam wujudnya, dan menyebutkan cara-cara yang benar dalam penggunaan semua
itu? Yang lebih penting dari semuanya ialah penjelasan tentang bahaya-bahaya
yang mengancam tubuh dan jiwa manusia, serta sumber-sumber kebinasaan dan
kesengsaraannya secara terperinci. Dapatkah diterima, Allah yang menciptakan
kita atas dasar rahmat dan kecintaan (mahabbah), lalu melepaskan
kita begitu saja, tanpa menerangkan jalan kebahagiaan dan cara mencapai
kesejahteraan bagi kita? Al-Quran adalah ibarat sebuah buku petunjuk tentang
manusia yang Ia kirimkan. Di dalam kitab petunjuk inilah Allah SWT menerangkan
jalan kebahagiaan dan kesejahteraan, juga faktor-faktor kebinasaan dan kesengsaraan
manusia. Hubungan baik kekeluargaan dan kemasyarakatan, masalah-masalah hukum
dan akhlak, keperluan-keperluan jiwa dan raga, tugas-tugas individu dan sosial,
adat istiadat yang benar dan yang menyimpang di dalam masyarakat manusia,
perintah-perintah dan undang-undang keuangan serta perekonomian, dan berbagai
topik lain yang berperan di dalam kebaikan atau kerusakan individu dan
masyarakat, semua itu dijelaskan di dalam Kitab ini. Meskipun di dalam Al-Quran
disebutkan juga kisah-kisah tentang kaum-kaum terdahulu, berbagai peristiwa
peperangan dan pertempuran, sejarah kehidupan umat manusia, baik lelaki maupun
perempuan, akan tetapi Al-Quran bukanlah sebuah kitab cerita. Akan tetapi, ia
adalah kitab pelajaran bagi kehidupan kita saat ini. Oleh karena itu, nama
kitab ialah Al-Quran. Artinya bacaan. Sebuah kitab yang harus dibaca; hanya
saja bukan sekedar dibaca dengan lidah, sebagaimana kitab pelajaran di
sekolah-sekolah dasar. Ia adalah Kitab yang harus dibaca disertai dengan tafakkur dan tadabbur, sebagaimana yang
diminta oleh Al-Quran itu sendiri. Tujuan pembahasan kita ini ialah mengupas
ajaran-ajaran Al-Quran dalam bentuk terjamah dan penjelasan serta keterangan,
yang akan kami berikan kepada kalian khusunya (kaum remaja dan generasi muda
yang kami cintai) yang ingin memprogram kehidupan sesuai dengan jalan yang
telah ditentukan oleh Allah demi kebahagian kalian, agar dengan acara ini akan
terciptalah kesempatan bagi Anda, ketika membaca Al-Quran, Anda juga akan dapat
mengambil manfaat bagi kehidupan di dunia. Kini marilah kita menghadapkan diri
kita kepada Al-Quran, dan kita buka halaman pertama Kitab samawi ini. Surah
pertama Al-Quran ialah Fâtihatul Kitâb.
Di kalangan umum, surah
ini dikenal dengan nama Surah Al-Hamdu. Karena Al-Quran
diawali oleh Surah ini, maka Surah ini pun dinamai Fâtihatul Kitâb yang artinya pembuka
kitab. Kedudukan penting surah yang tak memiliki lebih dari tujuh ayat ini,
cukup tergambar di dalam kenyataan bahwa diwajibkan dalam sehari semalam atas
kita untuk membacanya dua kali di dalam setiap salat yang kita lakukan, dan
salat akan batal tanpa membaca surah ini.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Surah yang merupakan
pembukan Kitab Allah ini sendiri, dimulai dengan sebuah ayat dimana setiap
pekerjaan yang tidak didahului oleh ayat ini, maka pekerjaan tersebut tidak
akan membawa kebaikan. Ayat pertama ialah: Bismillâhirrahmânirrahîm. Artinya: Dengan nama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Sejak dahulu, sudah
menjadi kebiasaan di kalangan rakyat, bahwa pekerjaan-pekerjaan penting selalu
dimulai dengan menyebut nama para pembesar mereka, untuk mendapat berkah
darinya. Umpamanya, para penyembah patung atau berhala, mencari berkah dengan
nama atau dengan kehadiran para kepala negara. Akan tetapi, Dzat yang lebih
besar di antara segala sesuatu yang besar, adalah Allah SWT di mana kehidupan
segala sesuatu yang hidup ini bermula dari-Nya. Bukan hanya kitab alam semesta,
akan tetapi, kitab syari’at, yaitu Al-Quran dan semua kitab samawi, dimulai
dengan nama-Nya. Islam mengajarkan kepada kita agar pekerjaan-pekerjaan kita,
yang kecil dan yang besar, makan dan minum, tidur dan bangun, bepergian dan menaiki
kendaraan, berbicara dan menulis, kerja dan usaha, pokoknya semua perbuatan
kita, hendaknya kita mulai dengan Bismillâh (dengan nama Allah).
Jika seekor binatang disembelih tanpa menyebut nama Allah, maka kita dilarang
memakan daging binatang tersebut. Kata-kata "Bismillâh" tidak khusus di dalam
agama Islam saja. Menurut ayat-ayat Al-Quran, kapal Nabi Nuh as juga bergerak diawali
dengan kalimat "Bismillâh". Surat Nabi Sulaiman as
kepada Balqis, juga diawali dengan kalimat "Bismillâh". "Bismillâh” adalah sebuah ayat
lengkap, dan bagian dari Surat Al-Fâtihah. Oleh sebab itu, Ahli Bait
Nabi SAWW tidak suka terhadap orang yang tidak membacanya atau membacanya
dengan suara pelan di dalam salatnya. Mereka sendiri selalu membaca ayat ini,
yaitu "bismillâhirrahmânirrahîm" dengan suara keras di
dalam setiap salat yang mereka lakukan.
Ada beberapa hal yang
dapat kita ambil sebagai pelajaran dari ayat ini. Pertama:
a."Bismillâh" merupakan sumber berkah
dan jaminan bagi setiap pekerjaan, juga merupakan tanda tawakkal kepada Allah
dan permohonan bantuan dari-Nya.
b."Bismillâh" memberi warna Ilahi
kepada setiap pekerjaan, dan menyelamatkan pekerjaan-pekerjaan manusia dari
bahaya syirik dan riya.
c."Bismillâh" artinya: Ya Allah aku
tidak melupakan-Mu, maka janganlah Engkau melupakan aku.
d.Orang yang mengucapkan "Bismillâh" berarti telah
menggabungkan diri kepada kekuatan tak terbatas dan lautan rahmat Ilahi yang
tak bertepi.
الحمد لله رب العالمين
"Segala puji hanya bagi Allah Tuhan seluruh Alam."
Setelah menyebut nama
Allah, maka kalimat pertama yang kita ucapkan Ialah syukur kepadanya. Allah
Tuhan yang perkembangan dan kehidupan segala sesuatu di alam ini bersumber
darinya, baik alam benda mati, tumbuh-tumbuhan, alam binatang, alam langit dan
bumi. Ia-lah yang mengajarkan kepada lebah madu dari mana mencari makanan dan
bagaimana cara membuat sarang. Ia juga mengajarkan pada semut bagaimana menyimpan
makanannya untuk musim dingin. Ia pulalah yang menumbuhkan batang-batang gandum
yang penuh dengan biji-biji hanya dari sebutir gandum, juga menumbuhkan
sebatang pohon apel dari sebutir biji apel. Dialah yang menciptakan langit
dengan kehebatan yang amat besar ini dan menetapkan garis edar setIap bintang
dan setIap galaksinya. Dialah yang menciptakan kita dari setetes air yang
memancar dan menumbuhkan kita di dalam perut ibu selama kurang lebih 6 hingga 9
bulan lebih beberapa hari. Lalu setelah lahir ke dunia Ia pun menyediakan
segala keperluan untuk perkembangan kita. Ia membentuk badan kita sedemikian
rupa sehingga mampu mempertahankan diri dari mikroba-mikroba pembawa penyakit
dan jika salah satu tulang tubuh kita patah atau retak, maka tubuh kita memiliki
kemampuan untuk mengatasinya sedemikIan rupa. Demikian pula jika tubuh
memerlukan darah, maka secara otomatis ia memproduksinya untuk memenuhi
keperluan tersebut. Akan tetapi, bukan hanya perkembangan dan pemeliharaan
tubuh kita saja yang berada di tangan-Nya, akal dan perasaan juga Ia ciptakan
untuk kita. Lalu Allah mengutus para Nabi dan kitab-kitab Samawi untuk mendidik
kita. Dari ayat ini ada satu hal yang dapat kita ambil sebagai pelajaran yaitu
ketergantungan kita dan seluruh alam ini kepada Allah SWT. Bukan hanya pada
saat penciptaan, akan tetapi perkembangan dan keterpeliharaan kita juga datang
dari-Nya. Oleh karena itu, hubungan Allah dengan segala yang maujud ini
bersifat selamanya dan kekal. Oleh karena itu pulalah maka kita harus mensyukuri
nikmat-nikmat-Nya. Bukan hanya di dunia, bahkan di hari akhirat pun ucapan
penduduk syurga adalah Ahamdulillâh hi rabbul `âlamîn.
الرحمن الرحيم
"Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang".
Allah yang kita imani
ialah manifestasi kasih sayang, cinta, maaf dan ampunan. Contoh-contoh rahmat
dan cinta-Nya terdapat di dalam nikmat-nikmat-Nya yang amat banyak tak
terhingga yang Ia ciptakan untuk kita. Bunga-bunga yang indah berbau harum,
buah-buahan yang manis dan lezat rasanya, berbagai bahan makanan yang lezat dan
penuh energi, bahan-bahan pakaian yang beraneka warna, semua dan semua
merupakan hadiah-hadiah Allah kepada kita.
Cinta ibu kepada anaknya
Ia tanamkan di dalam hati dan jiwa ibu kita sedangkan Allah sendiri memiliki
cinta yang jauh lebih besar daripada cinta para ibu terhadap anak-anak mereka.
Kemurkaan dan siksaannya pun datang dari tindakan Allah yang bertujuan
memperingatkan dan adanya perhatian Allah terhadap kita. Bukannya karena sifat
dendam atau niat menuntut balas.
Oleh karena itu, jika
kita bertaubat dan menutupi kesalahan yang kita lakukan, maka Allah pasti akan
mengampuni dan menghapus kesalahan dan dosa kita.
Dari Ayat ini dapat kita
ambil pelajaran sebagai berikut yaitu bahwa Allah selalu mendidik dan
memelihara segala yang maujud ini dengan rahmat dan kasih sayang, karena di
samping sifat-Nya sebagai Rabbul ‘Âlamîn, penguasa dan
pemelihara seluruh Alam. Ia juga menyebut dirinya sebagai Ar-Rahmân Ar-Rahîm, Maha pengasih dan maha
penyayang.
Oleh karena itu, jika
para pengajar dan pendidik ingin mendapatkan sukses, maka mereka harus bekerja
berdasarkan mahabbah dan kasih sayang.
مالك يوم الدين
"Pemilik hari pembalasan."
Kata-kata Dîn berarti mazhab atau
agama, juga berarti pembalasan. Adapun yang dimaksudkan dengan Yaumiddîn ialah Hari Qiamat yang
merupakan hari perhitungan pemberian pahala dan pembalasan.
Meskipun Allah SWT
adalah pemilik dan penguasa dunia sekaligus pemilik Akhirat, namun kepemilikan
dan kekuasaan-Nya di hari Qiamat memiliki bentuk yang berbeda. Di hari itu tak
ada siapa pun yang menguasai sesuatu. Harta kekayaan dan Anak-anak sama sekali
tidak memiliki peran. Sahabat dan kerabat tak memiliki kekuasaan apapun.
Bahkan seseorang tidak
memiliki kekuasaan terhadap anggota tubuhnya sendiri. Lidah tak diizinkan untuk
mengucapkan permohonan ampun. Tidak pula pikiran memiliki kesempatan untuk
berpikir. Hanya Allah yang memiliki kekuasaan penuh di hari itu.
Dari Ayat ini terdapat
beberapa hal yang boleh kita ambil sebagai pelajaran:
a. Di samping harapan
akan rahmat Allah yang tak terbatas sebagaimana yang dipaparkan dalam ayat
sebelumnya, kita juga harus merasa takut akan perhitungan dan pembalasan hari
Qiamat.
b. Dengan iman kepada
hari Qiamat, maka kita tak perlu cemas bahwa perbuatan-perbuatan baik kita tak
akan memperoleh balasan atau pahala.
c. Allah SWT maha
mengetahui segala perbuatan baik dan buruk yang kita lakukan dan ia memiliki
kemampuan untuk memberikan balasan maupun pahala.
إياك نعبد و إياك نستعين
"Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada-Mulah kami
meminta pertolongan".
Di dalam ayat-ayat yang
lalu Allah telah kita kenal bahwa Ia itu Rahmân dan Rahîm serta Rabbul `Âlamîn, juga Mâliki Yaumiddîn. Sementara oleh karena
kehebatan ciptaan-Nya dan nikmat-nikmat-Nya yang tak terhitung yang Ia curahkan
kepada kita, maka kita mengucapkan syukur dan pujian kepadanya dengan
mengatakan Alhamdulillâhi Rabbil `Âlamîn.
Sudah sepatutnyalah jika
sekiranya kita menghadapkan diri kita kepadanya dan seraya mengatakan
ketidakmampuan dan kelemahan kita, maka kita juga mengatakan bahwa kita adalah
hamba-hamba-Nya yang tulus dan hanya dihadapan perintah-Mu Ya Allah, bukan di
hadapan perintah-perintah selain-Mu kami menundukkan kepala. Kami bukan
hamba-hamba Emas dan kekayaan duniawi juga bukan budak-budaknya kekuatan dan
kekuasaan imperialis.
Karena salat yang
merupakan manifestasi Ibadah dan penyembahan Tuhan dikerjakan secara berjamaah,
maka umat Islam satu suara di dalam satu barisan secara kompak menyatakan bahwa“iyyâka
na'budu wa iyyâka nasta'în”. Ya Allah, bukan hanya aku, tetapi semua kami
adalah hamba-hamba-Mu dan kepada-Mulah kami memohon pertolongan. Ya Allah,
bahkan ibadah yang kami lakukan ini pun adalah berkat pertolongan-Mu. Jika
Engkau tidak menolong kami, maka kami pasti akan menjadi hamba dan budak
selain-Mu.
Dari ayat mulia ini
hal-hal berikut dapat kita ambil sebagai pelajaran:
a. Meskipun
undang-undang yang menguasai alam-alam materi dan formula-formula fisika dan
kimia kita yakini, namun semua itu berada di bawah kekuasan Allah dan
kehendak-Nya. Oleh karena itu, kita adalah orang-orang yang berserah diri
kepada Allah, bukannya kepada alam dan hanya kepada Allahlah kita memohon
bantuan bahkan dalam urusan materi sekalipun.
b. Jika di dalam setiap
salat dengan sepenuh hati dan khusyuk kita nyatakan bahwa kita hanya
menghambakan diri kepada Allah, maka kita tak akan menjadi orang-orang yang
congkak dan sombong.
اهدنا الصراط المستقيم
Kini kita menjulurkan tangan
kepada-Nya dan memanjatkan doa sebagai berikut:"Tunjukilah kami jalan
yang lurus"
Untuk kehidupan manusia
terdapat bermacam-macam jalan. Jalan yang ditentukan sendiri oleh manusia
berdasarkan keinginan dan tuntutan-tuntutan pribadi, jalan yang dilalui oleh
masyarakat dan rakyat, jalan yang dilewati oleh orang-orang tua dan orang-orang
bijak kita, jalan yang digariskan untuk masyarakat oleh para taghut dan
penguasa lalim, jalan kelezatan lahiriyah duniawi, atau jalan ‘uzlah(pengasingan diri) dari
segala bentuk aktifitas sosial.
Apakah manusia, di
antara sekian banyak jalan dan berbagai cara hidup, tidak memerlukan petunjuk
untuk dapat menemukan jalan yang benar dan lurus? Allah telah mengutus para
Nabi dan menurunkan Kitab-kitab samawi. Dan hidayah kita terletak di dalam
ketaatan dan kesungguhan kita dalam mentaati Rasul Allah, Ahlul Bait dan
Al-Quran.
Oleh karena itu, maka di
dalam setiap salat, kita memohon kepada Allah agar menunjuki kita jalannya yang
terang dan lurus. Jalan yang tak berkelak-kelok dan tak bergelombang naik
turun.
Jalan lurus adalah jalan
tengah dan moderat. Jalan yang lurus berarti jalan kesimbangan dan kemoderatan
di dalam segala urusan, dan keterjauhan dari segala bentuk ekstrimitas.
Sebagian orang dalam menerima pokok-pokok akidah, mengalami penyimpangan,
sementara sebagian yang lain dalam amal perbuatan dan akhlak, dan yang lain
menisbahkan segala perbuatan kepada Allah, sehingga menurut mereka manusia tak
lagi memiliki kehendak atau peran dalam menentukan nasib sendiri; sedangkan
orang lain ada pula yang menganggap dirinyalah yang menentukan segala urusan
dan setiap pekerjaan, sehingga menurut mereka Allah SWT tak lagi memiliki peran
sama sekali dalam hal itu.
Sebagian orang kafir
menganggap para pemimpin Ilahi sebagai manusia-manusia biasa, bahkan lebih
rendah lagi, sebagai orang-orang yang gila. Sementara sebagian orang yang
mengaku beriman menganggap beberapa Nabi, seperti Nabi Isa as sedemikian tinggi
sehingga mencapai batas ketuhanan. Pemikiran dan perlaku-perilaku semacam ini
menunjukkan penyimpangan dari jalan yang lurus, yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah dan Ahli Bait as.
Al-Quran juga
memerintahkan kita agar menjaga keseimbangan dan jalan tengah dalam
urusan-urusan ibadah, perekonomian dan sosial. Beberapa ayat berikut ini adalah
beberapa contoh yang akan kita tampilkan.
Di dalam ayat 31 surah
Al-A'raf, Allah SWT berfirman, "Makanlah dan minumlah, akan tetapi
janganlah kalian berlebihan".
Di dalam ayat 110 surah
Al-Isrâ`, disebutkan, "Janganlah kalian meninggikan bacaan
salat kalian dan janganlah memelankannya; carilah jalan tengah diantara
keduanya".
Demikian pula di dalam
ayat 67 surah Al-Furqân, kita membaca, "Dan orang-orang
yang menafkahkan harta, tidak berlebihan dan tidak pula terlalu kikir, mereka
mengambil jalan tengah di antara keduanya".
Meskipun Islam sangat
menekankan agar anak berbakti dan berlaku baik terhadap kedua orang tua, dan
berkata, "Wabil wâlidaini ihsânâ" (dan berbuatlah baik
kepada kedua orang tua), namun di samping itu, Al-Quran juga berfirman, "Falâ
tuthi'humâ" (janganlah engkau mentaati keduanya). Yaitu
ketika kedua orang tua mengajak kepada perbuatan tidak baik.
Kepada orang yang hanya
mengejar ibadah seraya mengasingkan diri dari masyarakat, atau orang yang beranggapan
bahwa mengabdi kepada rakyat adalah satu-satunya ibadah, Al-Quran mengajukan
salat dan zakat bergandengan dan mengatakan, "Aqîmush sholâta wa
âtuz zakâh" (Dirikanlah salat dan keluarkanlah
zakat).
Kita tahu bahwa salat
adalah hubungan antara makhluk dengan Khâliq, sedangkan zakat adalah
hubungan antara sesama makhluk. Orang-orang beriman yang sebenarnya adalah
mereka yang memiliki dua unsur sekaligus yaitu daya tolak dan daya tarik. Di
dalam ayat terakhir Surah Al-Fath, Allah SWT berfirman, "Muhammad adalah
utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya bersifat keras terhadap
orang-orang kafir, tetapi lemah lembut terhadap sesama mereka".
Adapun beberapa poin
yang dapat kita ambil sebagai pelajaran dari ayat ke-6 ini ialah:
a. Jalan kebahagiaan adalah
jalan yang lurus yaitu shirâtul mustaqîm, karena:
Pertama, jalan Allah yang lurus
bersifat tetap, berbeda dengan jalan-jalan atau cara hidup, yang dibuat oleh
manusia, yang setiap saat berubah-ubah.
Kedua, sementara itu, jarak
terpendek antara dua titik adalah garis lurus, yang merupakan sebuah jalan, tak
lebih, dan sama sekali tak memiliki kelokan dan tanjakan, sehingga dalam waktu
yang paling singkat ia akan membawa manusia sampai ke tujuan.
b. Pesan lainnya ialah
dalam memilih jalan juga dalam berusaha bertahan untuk tetap berada di atas
jalan yang lurus, kita harus memohon pertolongan dari Allah. Karena kita selalu
berada dalam ancaman kekeliruan dan ketersesatan. Dan jangan dikira bahwa jika
selama ini kita tak pernah mengalami kesesatan dan penyimpangan lalu kita akan
selamanya berada di atas jalan kehidupan yang lurus. Betapa banyak diantara
kita, manusia, yang telah melewati sebagian umurnya dengan iman, namun ketika
telah memperoleh kekayaan atau pengkat kedudukan, maka ia melupakan Allah.
Karena pengenalan jalan
yang lurus adalah pekerjaan yang sulit, maka ayat selanjutnya mengajukan
teladan-teladan bagi kita agar kita dapat mencontohi mereka dalam rangka
menemukan jalan lurus ini. Juga orang-orang yang menyimpang dari jalan ini,
agar kita jangan ikut tersesat seperti mereka.
صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ
الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّيْنَ
"yaitu
jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang-orang yang
Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat".
Dalam memilih jalan
kehidupan, manusia terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama ialah
orang-orang yang memilih jalan Allah, dan meletakkan kehidupan pribadi dan
masyarakat mereka di atas dasar undang-undang dan perintah-perintah yang telah
Allah jelaskan di dalam Kitab-Nya. Golongan ini selalu tercakup oleh rahmat dan
nikmat Ilahi yang khusus.
Golongan kedua berada di
dalam keadaan yang berlawanan dengan golongan pertama. Mereka ini, meskipun
mengetahui adanya kebenaran, namun tetap saja menolak Allah bahkan lari menuju
kepada selain-Nya. Mereka ini lebih mengutamakan hawa nafsu mereka,
keinginan-keinginan ilegal orang-orang dekat dan keluarga serta masyarakat
mereka dari pada keinginan dan kehendak Allah SWT.
Kelompok ini secara
perlahan memperlihhatkan akibat-akibat perbuatan dan perilaku mereka di salam
keberadaan mereka. Sedikit demi sedikit mereka menjauh dari shirâthul mustaqîm; dan bukannya menuju ke
arah Allah SWT dan mendapat rahmat-Nya, mereka terperosok ke jurang
kesengsaraan dan kesusahan, serta menjadi sasaran kemurkaan dan kemarahan
Ilahi, yang disebut oleh ayat ini sebagai orang yang "maghdhûbi
alaihim", orang-orang yang dimurkai.
Sementara itu, kelompok
ketiga ialah orang-orang yang tidak memiliki jalan yang jelas dan tertentu.
Mereka itu orang-orang yang bingung dan tidak mengerti. Di dalam ayat ini
mereka disebut sebagai orang-orang yang "dhôllîn", orang-orang yang
sesat.
Di dalam setiap salat,
kita menyerukan: Ihdinash shirôtol .........
Artinya: Ya Allah
tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan yang dilalui oleh para Nabi, auliya,
orang-orang suci dan orang-orang yang lurus. Mereka yang selalu berada di bawah
curahan rahmat dan nikmat-nikmat khusus-Mu. Dan jauhkanlah kami dari jalan
orang-orang yang telah menyimpang dari kemanusiaan dan menjadi sasaran
kemurkaan-Mu, juga dari jalan orang-orang yang kebingungan dan sesat. Sampai di
sini muncul pertanyaan sebagai berikut: siapakah orang-orang yang dimurkai dan
sesat itu?
Orang-orang
yang Dimurkai dan Sesat
Untuk menjawab
pertanyaan ini, harus kita katakan bahwa di dalam Al-Quran banyak orang dan
kaum yang disebut dengan sebutan di atas. Di sini kita akan singgung salah satu
contohnya yang jelas dan nyata.
Bani Israil, yang
sejarah kehidupan mereka sejak berada di bawah kekuasaan Fir'aun hingga mereka
terselamatkan oleh Nabi Musa as, telah dijelaskan di dalam Al-Quran, pada suatu
masa pernah memperoleh rahmat dan anugerah Allah yang tak terhingga, berkat
ketaatan mereka terhadap perintah-perintahn-Nya. Bahkan Allah telah melebihkan
mereka dari segenap kaum di muka bumi ini. Hal itu dapat kita baca di dalam
ayat 47 surah Al-Baqarah yang berfirman, "Wahai Bani Israil,
ingatlah nikmat-nikmat-Ku yang telah Kuberikan kepada kalian dan bahwa Aku
telah mengutamakan kalian di atas segenap penghuni seluruh alam".
Akan tetapi, disebabkan
perbuatan dan tingkah mereka, maka Bani Israil ini juga telah tertimpa murka
Ilahi. Dalam hal ini Allah berfirman, "Wa bâ`û bi
ghodhobim minallôh", (mereka pun tertimpa murka Allah). Karena mereka itu “yuharrifûnal
kalim" (yaitu ulama-ulama Yahudi suka mengubah-ubah
ajaran-ajaran samawi di dalam Kita Taurat), juga "wa'aklihimur ribâ",
(kesukaan mereka memakan uang hasil riba), dan perbuatan-perbuatan haram
lainnya.
Masyarakat umum Yahudi
pun sudah suka memburu kesenangan duniawi dan sudah terbiasa dengan kemewahan
hidup; sehingga membuat mereka tidak lagi bersedia membela agama dan tanah air.
Ketika Nabi Musa mengajak mereka agar berjuang mengusir penjajah dari tanah ari
mereka, mereka berkata, "Fadzhab anta wa Robbuka faqôtilâ
innâ hâhunâ qô'idûn" (pergilah engkau dan Tuhanmu untu berperang.
Adapun kami akan menunggu di sini).
Orang-orang yang baik di
antara kaum Yahudi ini juga diam tanpa berbuat suatu apa pun menghadapi
kesesatan dan penyimpangan ini. Akibatnya, kaum ini terperosok ke jurang
kehinaan padahal sebelumnya mereka berada di puncak kemuliaan.
Beberapa hal berikut ini
dapat kita ambil sebagai pelajaran dari ayat yang telah kita pelajari ini:
a. Dalam memilih jalan
yang lurus, kita memerlukan teladan yang telah disebutkan oleh Allah di dalam
ayat 69 surah An-Nisâ`, yaitu para Nabi, shiddîqîn (yaitu orang-orang yang
membenarkan),shuhadâ dan saleh, yang merupakan orang-orang yang
selalu mendapat rahmat dan ‘inâyah serta nikmat-nikmat
khusus Allah SWT.
b. Pelajaran lain yang
dapat kita ambil ialah bahwa meskipun segala sesuatu yang datang dari Allah SWT
merupakan nikmat-nikmat, namun kemurkaan Allah akan datang menimpa kita karena
perbuatan-perbuatan maksiat kita. Oleh karena itu, berkenaan dengan nikmat
Ilahi, Al-Quran berfirman, “an'amta”, (Engaku telah memberi
nikmat). Sedangkan ketika berbicara tentang kemurkaan, Al-Quran tidak
mengatakan, “ghodhibta”, (Engkau telah murkai). Akan tetapi,
Al-Quran mengatakan, “maghdhûbi alaihim”. Kata ini adalah
sifat, yang menunjukkan lebih kekalnya kemurkaan tersebut.
|
0 komentar:
Posting Komentar